Friday, March 13, 2020

Perkembangan Kerajaan Islam di Nusantara part 3


1. Kerajaan Cirebon


         Awalnya Cirebon merupakan bagian dari kerajaan Pajajaran. Pada abad ke- 16, Cirebon berkembang menjadi pelabuhan yang ramai dan pusat perdagangan di pantai Jawa Barat bagian utara. Setelah jumlah pedagang semakin banyak dan proses Islamisasi berkembang terus, Sunan Gunung Jati segera membentuk pemerintahan kerajaan Islam Cirebon.

        Cirebon dan Demak memiliki hubungan dekat. Secara ekonomi, pelabuhan Banten dijadikan sebagai pelabuhan bagi perkembangan ekonomi Demak di wilayah Cirebon, sebelum pelabuhan ini berdiri sendiri sebagai kerajaan. Adapun secara politik dan budaya, hubungannya terjadi melalui perkawinan. Pada tahun 1524 M, Sunan Gunung Jati menikahi saudara perempuan raja Demak. Dari perkawinan tersebut, Sunan Gunung Jati memperoleh anak bernama Hasanuddin yang kemudian dinobatkan sebagai Sultan Banten, setelah Demak merebut Banten dari penguasa Pajajaran. Adapun Sunan Gunung Jati, setelah meletakkan dasar-dasar pemerintahan kesultanan Banten segera membentuk pemerintahan di Cirebon pada tahun 1552 M. Masih ada perbedaan pendapat mengenai apakah Sunan Gunung Jati dengan Fatahillah sama orangnya atau berbeda ? Selama ini terdapat dua versi mengenai tokoh tersebut.
Versi pertama dikemukakan oleh sejarawan Hoesien Djajadiningrat (1913) yang merujuk pada sumber-sumber yang dikemukakan oleh catatan sejarah bangsa Portugis dan sumber-sumber lainnya mengatakan bahwa Sunan Gunung Jati ialah sama dengan Fatahillah, Falatehan, Tagaril, atau Syarif Hidayatullah. Versi kedua dikemukakan oleh sejarawan Atja (1972) dan Edi S. Ekadjati (2000) mengatakan bahwa Fatahillah dan Sunan Gunung Jati ialah dua orang yang berbeda, walaupun keduanya ialah sama-sama tokoh penyebar Islam di Cirebon. Versi kedua ini didukung oleh Babad Cirebon dan naskah Carita Purwaka Caruban Nagari.
2. Kerajaan Banten
  Hasanuddin sebagai anak dari Sunan Gunung Jati dianggap sebagai raja dari Kerajaan/Kesultanan Banten yang pertama. Adapun Sunan Gunung Jati dianggap sebagai pendiri kerajaan Banten.

Seperti halnya ayahnya, Hasanuddin memiliki hubungan keluarga dengan Raja Demak (Sultan Trenggono) melalui perkawinan. Dari perkawinan tersebut, Hasanuddin memperoleh dua orang anak, yaitu Maulana Yusuf dan Pangeran Jepara. Anak kedua diangkat menjadi penguasa Jepara, sedangkan Maulana Yusuf sebagai anak pertama diangkat menjadi Raja Banten.
Perebutan tahta di Banten terjadi sepeninggal Maulana Yusuf, yaitu antara Maulana Muhammad (anak Maulana Yusuf) dengan Pangeran Jepara. Namun usaha ini dapat digagalkan oleh pasukan Banten. Dari kegagalan serangan tersebut, Banten dan Cirebon  berdiri sebagai kerajaan yang berdaulat.
Banten mencapai masa kejayaannya dibawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682 M). Selama masa pemerintahannya, Sultan Ageng terlibat pertempuran melawan VOC. Kegigihan Sultan Ageng ditentang oleh Sultan Haji. Kesempatan ini dimanfaatkan VOC untuk menggunakan politik adu domba sehingga tidak lama kemudian Sultan Ageng dapat ditangkap Belanda tahun 1683 M dan dipenjara di Batavia sampai akhirnya wafat tahun 1692 M. Akhirnya, Sultan Haji dipaksa untuk menandatangani perjanjian dengan VOC. Harus menerima kenyataan bahwa Belanda memonopoli perdagangan di Banten.

            Daftar penguasa Banten       :
1.                           Maulana Hasanuddin atau Pangeran Sabakingkin 1552 - 1570
2.                           Maulana Yusuf atau Pangeran Pasareyan 1570 - 1585
3.                           Maulana Muhammad atau Pangeran Sedangrana 1585 - 1596
4.                           Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir atau Pangeran Ratu 1596 - 1647
5.                           Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad 1647 - 1651
6.                           Sultan Ageng Tirtayasa atau Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah 1651-1682
7.                           Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar 1683 - 1687
8.                           Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya 1687 - 1690
9.                           Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin 1690 - 1733
10.                       Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin 1733 - 1747
11.                       Ratu Syarifah Fatimah 1747 - 1750
12.                       Sultan Arif Zainul Asyiqin al-Qadiri 1753 - 1773
13.                       Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliuddin 1773 - 1799
14.                       Sultan Abul Fath Muhammad Muhyiddin Zainussalihin 1799 - 1803
15.                       Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin 1803 - 1808
16.                       Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin 1809 – 1813

3. Kerajaan Bone
Kerajaan Bone berdiri sekitar tahun 1335. Raja Bone pertama yang masuk Islam adalah raja Bone ke-XI yang bernama LATENRI RAWE BONGKANG. Setelah masuk Islam beliau bergelar Sultan Adam. Raja-raja Bone yang masuk Islam terkenal keras dalam melaksanakan agama Islam.
Masuk Islam, didahului oleh kerajaan Gowa. Ketika raja Bone belum masuk Islam dan mengajak rakyatnya memeluk agama Islam, kerajaan Bone belum dianggap sederajad oleh kerajaan Gowa. Diutuslah seorang menteri dari Bone untuk menyampaikan hal tersebut. Raja Bone menolak ajakan dari raja Gowa. Penolakan berarti membuka jalan kepada peperangan.
Peperangan antara kerajaan Gowa dan Bone tak dapat dielakkan lagi. Menurut anggapan raja Gowa, peperangan ini adalah peperangan antara Islam dan Kafir. Dalam peperangan itu, kerajaan Bone tak mampu menghadapi kerajan Gowa hingga mereka menyerah kalah. Selanjutnya, raja Bone memeluk Islam beserta rakyatnya. Raja Bone dengan giat mengajak rakyatnya memeluk Islam hingga penduduk di pelosok desa pun.
Kokohnya raja Bone memegang agama Islam terbukti sikap dari raja Bone:
-          Raja Bone ke-13, yang memerintah pada tahun 1634 yaitu LA MADDA REMENG.
Ia melaksanakan hukuman berat bagi yang tidak melaksanakan agama Islam dengan benar.
-          Raja Bone ke-31 LA PAWAWOI IKARAENG SIGERI, yang menduduki kerajaan tahun 1895.
Ia mengemukakan secara terbuka kepada segedap rakyatnya, mengharamkan Belanda untuk menjajah negeri Bone yang mengambil hasil negeri dan rakyat wajib memberikan perlawanan sampai titik darah terakhir terhadap kaum kafir.

4. Kerajaan Wajo

Kerajaan Wajo berasal dari komune-komune dari berbagai arah yang berkumpul di sekitar danau Lampulungeng yang dipimpin seorang yang memiliki kemampuan supranatural yang disebut puangnge ri lampulung. Sepeninggal beliau, komune tersebut berpindah ke Boli yang dipimpin oleh seseorang yang juga memiliki kemampuan supranatural. Datangnya Lapaukke seorang pangeran dari kerajaan Cina (Pammana) beberapa lama setelahnya, kemudian membangun kerajaan Cinnotabbi. Selama lima generasi, kerajaan ini bubar dan terbentuk Kerajaan Wajo. Kerajaan pra-wajo yakni Cinnongtabi dipimpin oleh masing-masing : La Paukke Arung Cinnotabi I, We Panangngareng Arung Cinnotabi II, We Tenrisui Arung Cinnotabi III, La Patiroi Arung Cinnotabi IV. setelahnya, kedua putranya menjabat sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V yakni La Tenribali dan La Tenritippe. Setelah mengalami masa krisis, sisa-sisa pejabat kerajaan Cinnotabi dan rakyatnya bersepakat memilih La Tenribali sebagai raja mereka dan mendirikan kerajaan baru yaitu Wajo. adapun rajanya bergelar Batara Wajo. Wajo dipimpin oleh, La Tenribali Batara Wajo I (bekas arung cinnotabi V), kemudian La Mataesso Batara Wajo II dan La Pateddungi Batara Wajo III. Pada masanya, terjadi lagi krisis bahkan Batara Wajo III dibunuh. kekosongan kekuasaan menyebabkan lahirnya perjanjian La Paddeppa yang berisi hak-hak kemerdekaan Wajo. setelahnya, gelar raja Wajo bukan lagi Batara Wajo akan tetapi Arung Matowa Wajo hingga adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia

5. Kerajaan Soppeng

Di saat terjadi kekacauan, di Soppeng muncul dua orang To Manurung. Pertama, seorang wanita yang dikenal dengan nama Manurungnge ri Goarie yang kemudian memerintah Soppeng ri Aja. dan kedua, seorang laki-laki yang bernama La Temmamala Manurungnge ri Sekkanyili yang memerintah di Soppeng ri Lau. Akhirnya dua kerajaan kembar ini menjadi Kerajaaan Soppeng.


No comments:
Write comments