1. Kerajaan Cirebon
Awalnya Cirebon merupakan
bagian dari kerajaan Pajajaran. Pada abad ke- 16, Cirebon berkembang menjadi
pelabuhan yang ramai dan pusat perdagangan di pantai Jawa Barat bagian utara.
Setelah jumlah pedagang semakin banyak dan proses Islamisasi berkembang terus,
Sunan Gunung Jati segera membentuk pemerintahan kerajaan Islam Cirebon.
Cirebon dan Demak memiliki hubungan dekat. Secara ekonomi, pelabuhan Banten
dijadikan sebagai pelabuhan bagi perkembangan ekonomi Demak di wilayah Cirebon,
sebelum pelabuhan ini berdiri sendiri sebagai kerajaan. Adapun secara politik
dan budaya, hubungannya terjadi melalui perkawinan. Pada tahun 1524 M, Sunan
Gunung Jati menikahi saudara perempuan raja Demak. Dari perkawinan tersebut,
Sunan Gunung Jati memperoleh anak bernama Hasanuddin yang kemudian dinobatkan
sebagai Sultan Banten, setelah Demak merebut Banten dari penguasa Pajajaran.
Adapun Sunan Gunung Jati, setelah meletakkan dasar-dasar pemerintahan kesultanan
Banten segera membentuk pemerintahan di Cirebon pada tahun 1552 M. Masih ada
perbedaan pendapat mengenai apakah Sunan Gunung Jati dengan Fatahillah sama
orangnya atau berbeda ? Selama ini terdapat dua versi mengenai tokoh tersebut.
Versi pertama dikemukakan
oleh sejarawan Hoesien Djajadiningrat (1913) yang merujuk pada sumber-sumber
yang dikemukakan oleh catatan sejarah bangsa Portugis dan sumber-sumber lainnya
mengatakan bahwa Sunan Gunung Jati ialah sama dengan Fatahillah, Falatehan,
Tagaril, atau Syarif Hidayatullah. Versi kedua dikemukakan oleh sejarawan Atja
(1972) dan Edi S. Ekadjati (2000) mengatakan bahwa Fatahillah dan Sunan Gunung
Jati ialah dua orang yang berbeda, walaupun keduanya ialah sama-sama tokoh
penyebar Islam di Cirebon. Versi kedua ini didukung oleh Babad Cirebon dan
naskah Carita Purwaka Caruban Nagari.
2. Kerajaan Banten
Hasanuddin sebagai anak
dari Sunan Gunung Jati dianggap sebagai raja dari Kerajaan/Kesultanan Banten
yang pertama. Adapun Sunan Gunung Jati dianggap sebagai pendiri kerajaan
Banten.
Seperti halnya
ayahnya, Hasanuddin memiliki hubungan keluarga dengan Raja Demak (Sultan
Trenggono) melalui perkawinan. Dari perkawinan tersebut, Hasanuddin memperoleh
dua orang anak, yaitu Maulana Yusuf dan Pangeran Jepara. Anak
kedua diangkat menjadi penguasa Jepara, sedangkan Maulana Yusuf sebagai anak
pertama diangkat menjadi Raja Banten.
Perebutan tahta di
Banten terjadi sepeninggal Maulana Yusuf, yaitu antara Maulana Muhammad (anak
Maulana Yusuf) dengan Pangeran Jepara. Namun usaha ini dapat digagalkan oleh
pasukan Banten. Dari kegagalan serangan tersebut, Banten dan Cirebon
berdiri sebagai kerajaan yang berdaulat.
Banten mencapai
masa kejayaannya dibawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682 M). Selama
masa pemerintahannya, Sultan Ageng terlibat pertempuran melawan VOC. Kegigihan
Sultan Ageng ditentang oleh Sultan Haji. Kesempatan ini dimanfaatkan VOC untuk
menggunakan politik adu domba sehingga tidak lama kemudian Sultan Ageng dapat
ditangkap Belanda tahun 1683 M dan dipenjara di Batavia sampai akhirnya wafat
tahun 1692 M. Akhirnya, Sultan Haji dipaksa untuk menandatangani perjanjian
dengan VOC. Harus menerima kenyataan bahwa Belanda memonopoli perdagangan di
Banten.
Daftar
penguasa Banten :
1.
Maulana
Hasanuddin atau Pangeran Sabakingkin 1552 - 1570
2.
Maulana
Yusuf atau Pangeran Pasareyan 1570 - 1585
3.
Maulana
Muhammad atau Pangeran Sedangrana 1585 - 1596
4.
Sultan
Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir atau Pangeran Ratu 1596 - 1647
5.
Sultan
Abu al-Ma'ali Ahmad 1647 - 1651
6.
Sultan
Ageng Tirtayasa atau Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah 1651-1682
7.
Sultan
Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar 1683 - 1687
8.
Sultan
Abu Fadhl Muhammad Yahya 1687 - 1690
9.
Sultan
Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin 1690 - 1733
10.
Sultan
Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin 1733 - 1747
11.
Ratu
Syarifah Fatimah 1747 - 1750
12.
Sultan
Arif Zainul Asyiqin al-Qadiri 1753 - 1773
13.
Sultan
Abul Mafakhir Muhammad Aliuddin 1773 - 1799
14.
Sultan
Abul Fath Muhammad Muhyiddin Zainussalihin 1799 - 1803
15.
Sultan
Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin 1803 - 1808
16.
Sultan
Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin 1809 – 1813
3. Kerajaan Bone
Kerajaan Bone berdiri sekitar tahun 1335. Raja Bone
pertama yang masuk Islam adalah raja Bone ke-XI yang bernama LATENRI RAWE
BONGKANG. Setelah masuk Islam beliau bergelar Sultan Adam. Raja-raja Bone yang
masuk Islam terkenal keras dalam melaksanakan agama Islam.
Masuk Islam, didahului oleh kerajaan Gowa. Ketika raja
Bone belum masuk Islam dan mengajak rakyatnya memeluk agama Islam, kerajaan
Bone belum dianggap sederajad oleh kerajaan Gowa. Diutuslah seorang menteri
dari Bone untuk menyampaikan hal tersebut. Raja Bone menolak ajakan dari raja
Gowa. Penolakan berarti membuka jalan kepada peperangan.
Peperangan antara kerajaan Gowa dan Bone tak dapat dielakkan
lagi. Menurut anggapan raja Gowa, peperangan ini adalah peperangan antara Islam
dan Kafir. Dalam peperangan itu, kerajaan Bone tak mampu menghadapi kerajan
Gowa hingga mereka menyerah kalah. Selanjutnya, raja Bone memeluk Islam beserta
rakyatnya. Raja Bone dengan giat mengajak rakyatnya memeluk Islam hingga
penduduk di pelosok desa pun.
Kokohnya raja
Bone memegang agama Islam terbukti sikap dari raja Bone:
-
Raja Bone ke-13, yang memerintah pada tahun 1634 yaitu LA MADDA REMENG.
Ia melaksanakan hukuman berat bagi yang tidak melaksanakan agama Islam dengan benar.
Ia melaksanakan hukuman berat bagi yang tidak melaksanakan agama Islam dengan benar.
-
Raja Bone ke-31 LA PAWAWOI IKARAENG SIGERI, yang menduduki kerajaan
tahun 1895.
Ia mengemukakan secara terbuka kepada segedap rakyatnya, mengharamkan Belanda untuk menjajah negeri Bone yang mengambil hasil negeri dan rakyat wajib memberikan perlawanan sampai titik darah terakhir terhadap kaum kafir.
Ia mengemukakan secara terbuka kepada segedap rakyatnya, mengharamkan Belanda untuk menjajah negeri Bone yang mengambil hasil negeri dan rakyat wajib memberikan perlawanan sampai titik darah terakhir terhadap kaum kafir.
4. Kerajaan Wajo
Kerajaan Wajo berasal dari komune-komune dari berbagai
arah yang berkumpul di sekitar danau Lampulungeng yang dipimpin seorang yang
memiliki kemampuan supranatural yang disebut puangnge ri lampulung. Sepeninggal
beliau, komune tersebut berpindah ke Boli yang dipimpin oleh seseorang yang
juga memiliki kemampuan supranatural. Datangnya Lapaukke seorang pangeran dari
kerajaan Cina (Pammana) beberapa lama setelahnya, kemudian membangun kerajaan
Cinnotabbi. Selama lima generasi, kerajaan ini bubar dan terbentuk Kerajaan
Wajo. Kerajaan pra-wajo yakni Cinnongtabi dipimpin oleh masing-masing : La
Paukke Arung Cinnotabi I, We Panangngareng Arung Cinnotabi II, We Tenrisui
Arung Cinnotabi III, La Patiroi Arung Cinnotabi IV. setelahnya, kedua putranya
menjabat sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V yakni La Tenribali dan La
Tenritippe. Setelah mengalami masa krisis, sisa-sisa pejabat kerajaan Cinnotabi
dan rakyatnya bersepakat memilih La Tenribali sebagai raja mereka dan
mendirikan kerajaan baru yaitu Wajo. adapun rajanya bergelar Batara Wajo. Wajo
dipimpin oleh, La Tenribali Batara Wajo I (bekas arung cinnotabi V), kemudian
La Mataesso Batara Wajo II dan La Pateddungi Batara Wajo III. Pada masanya,
terjadi lagi krisis bahkan Batara Wajo III dibunuh. kekosongan kekuasaan
menyebabkan lahirnya perjanjian La Paddeppa yang berisi hak-hak kemerdekaan
Wajo. setelahnya, gelar raja Wajo bukan lagi Batara Wajo akan tetapi Arung
Matowa Wajo hingga adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia
5. Kerajaan Soppeng
Di saat terjadi kekacauan, di Soppeng muncul dua orang
To Manurung. Pertama, seorang wanita yang dikenal dengan nama Manurungnge ri
Goarie yang kemudian memerintah Soppeng ri Aja. dan kedua, seorang laki-laki
yang bernama La Temmamala Manurungnge ri Sekkanyili yang memerintah di Soppeng
ri Lau. Akhirnya dua kerajaan kembar ini menjadi Kerajaaan Soppeng.
No comments:
Write comments