Sunday, March 3, 2019

Perang Diponegoro, Perang Jawa, Perang Terbesar di Jawa masa Kolonial Belanda


Perang Diponegoro atau juga sering disebut Perang Jawa,(Inggris : The Java War, Belanda : De Java Oorlog). merupakan perang besar yang terjadi di Jawa berlangsung selama lima tahun, yakni dari tahun 1825-1830 . Perang yang merupakan salah satu perang terbesar pada masa colonial Belanda di Indonesia(pada saat itu namanya Hindia Belanda).
Perseteruan keraton Jawa dengan Belanda dimulai semenjak kedatangan Marsekal Herman Williem Daendels di Batavia pada 5 Januari 1808, meskipun ia sebenarnya hanya ditugaskan untuk mempersiapkan Jawa sebagai baris pertahanan Perancis melawan Inggris(pada saat itu Belanda dikuasai Perancis), tetapi Daendels juga mengubah etika dan tata upacara lain yang membuat ketidaknyamanan serta kebencian dari pihak keratin Jawa. Ia memaksa pihak Keraton Yogyakarta untuk memberinya akses terhadap berbagai sumber daya alam dan manusia dengan mengerahkan kekuatan militernya, membangun jalan dari Anyer hingga Panarukan, hingga akhirnya terjadi insiden perdagangan kayu jati di daerah mancanegara (wilayah Jawa di timur Yogyakarta) yang menyebabkan terjadinya pemberontakan Raden Ronggo. Setelah gagalnya Pemberontakan Raden Ronggo(1810), Daendels memaksa Sultan Hamengkubuwono II untu membayar kerugian akibat perang serta melakukan berbagai penghinaan lain yang menyebabkan perseteruan antar keluarga keratin(1811), pada tahun yang sama, pasukan Inggris mendarat dan mengalahkan Belanda di Jawa.
Meskipun pada mulanya Inggris yang dipimpin Thomas Stamford Bingley Raffles memberikan dukungan kepada Sultan Hamengkubuwana II, pasukan Inggris akhirnya menyerbu Keraton Yogyakarta (19-20 Juni 1812) yang menyebabkan Sultan Hamengkubuwana II diturunkan secara tidak hormat dan digantikan putra sulungnya, yaitu Sultan Hamengkubuwana III. Perisitwa ini dikenal dengan nama Geger Sepehi. Inggris memerintah hingga tahun 1815 dan mengembalikan Jawa kepada Belanda sesuai isi Perjanjian Wina (1814) di bawah Gubernur Jenderal Belanda van der Capellen. Pada masa pemerintahan Inggris, Hamengkubuwana III wafat dan digantikan putranya, adik tiri Pangeran Diponegoro, yaitu Hamengkubuwana IV yang berusia 10 tahun (1814), sementara Paku Alam I menjadi adipati di Puro Kadipaten Pakualaman sekaligus wali Raja sedangkan Patih Danuredjo III bertindak sebagai wali Raja.
Pada tanggal 6 Desember 1822, Sultan Hamengkubuwana IV meninggal pada usia 19 tahun. Ratu Ageng (permaisuri Hamengkubuwana II) dan Gusti Kangjeng Ratu Kencono (permaisuri Hamengkubuwana IV) memohon dengan sangat kepada pemerintah Belanda untuk mengukuhkan putra Hamengkubuwana IV yang masih berusia 2 tahun untuk menjadi Hamengkubuwana V serta tidak lagi menjadikan Paku Alam sebagai wali. Pangeran Diponegoro selanjutnya diangkat menjadi wali bagi keponakannya bersama dengan Mangkubumi. Pada tahun 1823, tahta keraton yang seharusnya diduduki wali sultan yang masih balita ternyata ditempati oleh Residen Belanda saat itu, yaitu Smissaert, sehingga sangat melukai hati masyarakat Yogya dan Pangeran Diponegoro, meskipun ada kecurigaan bahwa tindakan Smissaert disebabkan kedua ratu tidak ingin melihat Diponegoro duduk di atas tahta. Menindaklanjuti pengamatan Van der Graaf pada tahun 1821 yang melihat para petani lokal menderita akibat penyalahgunaan penyewaan tanah oleh warga Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman, van der Capellen mengeluarkan dekret pada tanggal 6 Mei 1823 bahwa semua tanah yang disewa orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya per 31 Januari 1824. Namun, pemilik lahan diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa lahan Eropa. Keraton Yogyakarta terancam bangkrut karena tanah yang disewa adalah milik keraton sehingga Pangeran Diponegoro terpaksa meminjam uang kepada Kapitan Tionghoa di Yogyakarta pada masa itu. Smissaert berhasil menipu kedua wali sultan untuk meluluskan kompensasi yang diminta oleh Nahuys atas perkebunan di Bedoyo sehingga membuat Diponegoro memutuskan hubungannya dengan keraton. Putusnya hubungan tersebut terutama disebabkan tindakan Ratu Ageng (ibu tiri pangeran) dan Patih Danurejo yang pro kepada Belanda. Pada 29 Oktober 1824, Pangeran Diponegoro mengadakan pertemuan di rumahnya, di Tegalrejo, untuk membahas mengenai kemungkinan pemberontakan pada pertengahan Agustus. Pangeran Diponegoro membulatkan tekad untuk melakukan perlawanan dengan membatalkan pajak Puwasa agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan.
Pemicu perang besar di Jawa ini sebenarnya bukan satu alasan saja yaitu dibangunnya rel di pemakaman leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo, tetapi karena memang sudah sangat muaknya Pangeran Diponegoro terhadap perilaku Belanda yang memang telah sewenang-wenang, mulai dari berkecimpungnya mereka dengan keputusan-keputusan kesultanan, tingginya pajak yang dibebankan kepada masyarakat, dan tindakan mereka yang menyeleweng dari syariat-syariat Islam.
Pada pertengahan bulan Mei 1825, Smissaert memutuskan untuk memperbaiki jalan-jalan kecil di sekitar Yogyakarta. Namun, pembangunan jalan yang awalnya dari Yogyakarta ke Magelang melewati Muntilan dibelokkan melewati pagar sebelah timur Tegalrejo. Pada salah satu sektor, patok-patok jalan yang dipasang orang-orang kepatihan melintasi makam leluhur Pangeran Diponegoro. Patih Danurejo tidak memberitahu keputusan Smissaert sehingga Pangeran Diponegoro baru mengetahui setelah patok-patok dipasang. Perseteruan terjadi antara para petani penggarap lahan dengan anak buah Patih Danurejo sehingga memuncak di bulan Juli. Patok-patok yang telah dicabut kembali dipasang sehingga Pangeran Diponegoro menyuruh mengganti patok-patok dengan tombak sebagai pernyataan perang.
Pada hari Rabu, 20 Juli 1825, pihak istana mengutus dua bupati keraton senior yang memimpin pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo sebelum perang pecah. Meskipun kediaman Diponegoro jatuh dan dibakar, pangeran dan sebagian besar pengikutnya berhasil lolos karena lebih mengenal medan di Tegalrejo.  Pangeran Diponegoro beserta keluarga dan pasukannya bergerak ke barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga keesokan harinya tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaan dia. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.
Penyerangan di Tegalrejo memulai perang Diponegoro. Pangeran Diponegoro memimpin masyarakat Jawa, dari kalangan petani hingga golongan priyayi yang menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya sebagai dana perang, dengan semangat "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati"; "sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati". Sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Pangeran Diponegoro. Bahkan Pangeran Diponegoro juga berhasil memobilisasi para bandit profesional yang sebelumnya ditakuti oleh penduduk pedesaan, meskipun hal ini menjadi kontroversi tersendiri. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Dalam perang Jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.
Di sisi lain, sebenarnya Belanda sedang menghadapi Perang Padri di Sumatera Barat. Penyebab Perang Paderi adalah perselisihan antara Kaum Padri (alim ulama) dengan Kaum Adat (orang adat) yang mempermasalahkan soal agama Islam, ajaran-ajaran agama, mabuk-mabukan, judi, maternalisme dan paternalisme. Saat inilah Belanda masuk dan mencoba mengambil kesempatan. Namun pada akhirnya Belanda harus melawan baik kaum adat dan kaum paderi, yang belakangan bersatu. Perang Paderi berlangsung dalam dua babak: babak I antara 1821-1825, dan babak II setelah perang Diponegoro nanti. Untuk menghadapi Perang Diponegoro, Belanda terpaksa menarik pasukan yang dipakai perang di Sumatera Barat untuk menghadapi Pangeran Diponegoro yang bergerilya dengan gigih. Sebuah gencatan senjata disepakati pada tahun 1825, dan sebagian besar pasukan dari Sumatera Barat dialihkan ke Jawa.
Bagi Diponegoro dan para pengikutinya, perang ini merupakan perang jihad melawan Belanda dan orang Jawa murtad. Sebagai seorang muslim yang saleh, Diponegoro merasa tidak senang terhadap religiusitas yang kendur di istana Yogyakarta akibat pengaruh masuknya Belanda, disamping kebijakan-kebijakan pro-Belanda yang dikeluarkan istana.[9]Infiltrasi pihak Belanda di istana telah membuat Keraton Yogyakarta seperti rumah bordil. Di lain pihak, Smissaert menulis bahwa Pangeran Diponegoro semakin lama semakin hanyut dalam fanatisme dan banyak anggota kerajaan yang menganggapnya kolot dalam beragama.
Dalam laporannya, Letnan Jean Nicolaas de Thierry menggambarkan Pangeran Diponegoro mengenakan busana bergaya Arab dan serban yang seluruhnya berwarna putih. Busana tersebut juga dikenakan oleh pasukan Diponegoro dan dianggap lebih penting dibandingkan busana adat Jawa meskipun perang telah berakhir. Laporan Paulus Daniel Portier, seorang indo, menyebutkan bahwa para tawanan perang Belanda memperoleh ancaman nyawa jika tidak bersedia masuk Islam.
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantrikavaleri dan artileri (yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal) di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan di dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun strategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerja sama dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malariadisentri, dan sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak", melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang di bawah komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
Di Selarong Pangeran Diponegoro mambagi tugas untuk melakukan perlawanan. Pangeran Diponegoro Anom ,putra pangeran Diponegoro, dan Tumenggung Danukusuma diberi tugas untuk melakukan perlawanan di daerah Bagelen. Pangeran Adiwinono dan Mangundipuro mendapat tugas mengadakan perlawanan di daerah Kedu dan sekitarnya . Pangeran Abu Bakar dan Tumenggung Jaya Mustopo mengadakan perlawanan di daerah Lowano. Pangeran Adisurya dan Pangeran Sumonegoro mengadakan perlawanan di Kulon Progo Tumenggung Cokronegoro memimpin pasukan di Godean. Pangeran Joyokusumo ( Pangeran Bei ) memimpin pasukan di utara Yogyakarta dibantu Tumenggung Suradilogo. Yogyakarta bagian timur diserahkan kepada Tumenggung Suryonegoro dan Tumenggung Suronegoro. Pertahanan di Selarong diberikan kepada Joyonegoro,pangeran Suryodiningrat dan Pangeran Joyowinoto. Gunung Kidul diberikan kepada pangeran Singosari dan Pangeran Warakusumo. Perlawanan di daerah Pajang dipegang oleh Pangeran Mertoloyo Pangeran Wiryokusumo, Tumenggung Sindurejo dan Pangeran Diporejo. Perlawanan di Sukawati dipimpin oleh Kertonegara , Bupati Mangunnegara memimpin perlawanan di Madiun Magetan dan Kediri.
Insiden Tegalreja tersebut terdengar oleh Gubernur Hindia Beland saat itu Van der Cepellen, dan memutuskan untuk mengirimkan Jenderal De Kock sebagai lawan tanding Pangeran Diponegoro. Jenderal De Kock sampai di Semarang pada tanggal 29 Juli 1825 dan tiba di Surakarta tanggal 30 Juli 1825. Membuat perundingan dengan Pakubuwana VI dan hasilnya Pakubuwana VI menyetjui untuk membantu Belanda menghentikan pemberontakan Pangeran Diponegoro. Untuk memadamkannya Belanda mengirimkan pasukan bantuan dari Semarang. Sesampainya di lembah Logerok (Lembah Pisangan) pasukan Belanda dengan dipimpin oeh kapten Keemsius disergap oleh pasukan Diponegoro dibawah pimpinan Musyosentika. Pasukan hancur musuh milik Belanda kalah telak dan sebanyak 200 orang tewas, serta berhasil dirampasnya uang 50.000 gulden yang akan dikirim kepada residen Yogyakarta. Kemenangan ini menjadi yang pertama di akhhir Juli 1825 serta membuat semain banyaknya orang yang menyebrang ke sisi golongan Pangeran Diponegoro.Kemudian bala bantuan dari timur yang berisikan dari legiun Mangkunegaraan dipimpin oleh Raden mas Suwongso menantu Mangkunegoro disergap di Randugunting, Kalasan. Hampir seluruh prajurit tewas. Pemimpinnya tersebut tertawan dan dibawa ke Selarong tetapi kemudian dibebaskan oleh Pangeran Diponegoro.
Mendengar berita kemenangan pasukan Diponegoro di logorok dan Randugunting dan di lain lain tempat, rakyat semakin bergerak dan kuat. Keluarga Keraton Yogyakarta ketakutan dan bersembunyi di benteng Belanda. Banyak alim ulama kraton yang meninggalkan kraton dan bergabung dengan pasukan Diponegoro.
Berita kemenangan-kemenangan tersebut sangat cepat menyebar bak kebakaran di padang rumput sehingga menghasilkan lebih banyak lagi simpaitisan—simpatisan yang menyebrang ke sisi Pangeran Diponegoro, dan menimbulkan perlawanan dimana-mana di Jawa.
Di Kedu pertempuran terjadi sangat sengit, pasukan rakyat yang disebut Bulkiya yang dipimpin oleh Haji Usaman Alibasah dan Haji Abdulkabir melawan pasukan Belanda dengan bantuan dari Bupati Magelang Tumenggung Hadiningrat. Pasukan Pangeran Diponegoro melumat dan memukul mundur pasukan Belanda serta menewaskan Bupati Magelang, Tumenggung Danuningrat. Di daerah Menoreh pun pasukan Pangeran Diponegoro dapat mengancurkan pasukan Belanda dan menewaskan Bupati Menoreh Ario Sumodilogo. Pada tanggal 7 Agustus 1825, Jenderal De Kock mengirim surat untuk mengadakan perundingan dengan segala pihak, dan dia diundang ke Selarong, tetapi Jenderal De Kock tidak berani datang.
Perlwanan rakyat terus berkobar , upaya de Kock untuk mengatasi perlawanan rakyat adalah degan cara memanggil opsir opsir yang bertugas diluar Jawa untuk menghadapi Diponegoro. Jenderal Van Geen yang bertugas memadamkan perlawanan di Sulawesi ditarik ke Jawa, selama berminggu minggu dia harus bertempur melawan rakyat Semarang yang dipimpin oleh Pangeran Serang. Pangeran Serang kemudian menuju ke Sukawati diselatan bergabung dengan pasukan Kartodirja. Kemudian mereka memimpin perlawanan rakyat di Rembang, Blora dan Bojonegara. Tumenggung Kartadirja tertembak kakinya kemudian ditawan di Semarang. Kemudian Pangeran Serang bergabung ke Madiun dan selanjutnya bergabung dengan Pangeran Diponegoro di Yogyakarta.
Jenderal de Kock berusaha mengepung markas pangeran Diponegoro di Selarong akan tetapi untuk mengepung Selarong de Kock terlebih dahulu harus menghadapi perlawanan rakyat di Semarang,Bagelen,Kedu, Banyumas Madiun dan Surakarta. Untuk itu de Kock menugaskan tangan kanannya yaitu Letkol Diell dan Letkol Cleerens. Letkol Diell menghadapi perlawanan rakyat di Banyumas dan Letkol Cleerens di Tegal dan Pekalongan.
Pasukan Belanda mengadakan serangan besar besaran ke Selarong pada 2 dan 4 Oktober 1825 namun Selarong sudah kosong karena Pangeran Diponegoro memindahkan markasnya ke Dekso. Para wanita,anak anak dan orang tua dipindahkan ke Suwela. Di situ Pangeran Diponegoro memperkuat dan memperbaiki pasukannya. Ia membentuk kesatuan pasukan baru dengan Senapati tangguh dan berpengalaman.
Pada akhir tahun 1825 Pasukan Diponegoro berhasil memukul mundur pasukan Belanda yang menyerang Imogiri. Di Yogya timur Tumenggung Suronegoro berhasil menggempur pertahanan Belanda dan mampu mengambil banyak senapan dan meriam dari Belanda.
Hanya di Yogya bagian barat pasukan Belanda mampu mengepung Dekso,markas pangeran Diponegoro. Kemudian pada tanggal 16 April 1826 pasukan gabungan Belanda dan Mangkunegaran menyerang pertahanan Pasukan Dipangera di Plered,tapi kemudian ditinggalkan dan diduduki kembali oleh pasukan Diponegoro. Pada 6 Juni dibawah pimpinan Kol Cochius, Pangeran Suria mataram dan pangeran Suriadiningrat. Kraton Tua Plered kembali dikuasai oleh Pasukan Belanda dan Mangkunegaran.
Pada 8 Juli 1826 Dekso diserang akan tetapi pangeran Diponegoro telah berpindah ke desa Kasuran. Kemudian tanggal 28 Juli pasukan Belanda kembali bergerak menuju Yogyakarta,di Kasuran pasukan Belanda disergap oleh Pasukan Diponegoro Van Geen kabur dan Kol Cochius dan dua orang bangsawan kraton tewas.
Selama tahun 1826 Pangeran Diponegoro selalu memenangkan pertempuran melawan Belanda dan Mangkunegaran. Perlawanan rakyat di Bagelen berhasil memukul mundur Belanda. Pangeran Bei memenangkan pertempuran di Kejiwan. Dalam pertempuran di Delanggu pasukan Diponegoro berhasil memenangkan pertempuran sengit, dan mendapatkan berpuluh senapan dan dua belas meriam, pertempuran di Delanggu adalah kemenangan terbesar bagi pihak Pangeran Diponegoro.
Karena mengalami kekalahan berturut turut sejak awal perang de Kock kemudian mengangkat kembali Sultan Hamengkubuwono II pada 1826. Pengangkatan ini bermaksud agar pimpinan perjuangan rakyat yang dulu setia kepada Sultan Sepuh mau meninggalkan perjuagan dan kembali ke kraton. Akan tetapi pemimpin pasukan tetap setia kepada Pangeran Diponegoro, dan tetap melanjutkan perlawanan.
Pada tahun 1827 karena telah menelan kekalahan bertubi tubi sejak dua tahun berperang. Jenderal de Kock mengubah siasat perang menjadi Benteng Stelsel, yaitu dengan mendirikan benteng di tempat yang diduduki. Siasat ini untuk mengimbangi siasat perang gerilya yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro yang selalu berpindah tempat. Sehingga pasukan de Kock tidak perlu mencari Diponegoro. Total 200 benteng dibangun untuk mengatasi perlawanan Pangeran Diponegoro.
Strategi benteng stelsel ini tidak langsung behasil karena pasukan Diponegoro masih memenangkan pertempuran pertempuran di Kedu. Di Banyumas pasukan Belanda bahkan harus kehilangan letkol Diels dan letkol de Bost. Hanya pasukan di daerah yogya selatan yang mamp dimenangkan oleh pasukan Belanda dimana Pangeran Notonegoro dan Pangeran Serang menyerah pada tanggal 21 Juni 1827 atas bujukan residen Yogya, van Lowick. Itu merupakan pukulan telak bagi pasukan Diponegoro.
Pada 1828 Belanda memindahkan markasnya ke Magelang Karena dinilai lebih strategis.,sebab lokasinya yang strategis untuk memadamkan perlawanan rakyat. Belanda terus memperkuat jaringan bentengnya, mereka mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro. Pada 1828 tepatnya pada tanggal 18 April Pangeran Natadiningrat putra Pangeran Mangkubumi menyerah. Penyerahan ini sangat menggembirakan bagi Belanda karena Belanda berharap Pangeran Mangkubumi juga ikut menyerah ke Belanda.
Disamping persenjataan yang lengkap dan modern. Belanda juga melancarkan cara lain untuk mempengaruhi para pemimpin pasukan Diponegoro untuk menyerahkan diri dengan iming iming posisi di kraton.
Pada akhir 1828 terjadi pertempuran di Penangguhan. Disini jatuh banyak korban dari Belanda maupun dari pasukan pangeran Diponegoro. Kapten Van Ingen dan Pangeran Prangwedana tewas dan di pihak Diponegoro komandan pasukan Mantirejon meninggal. Kedua belah pasukan menarik diri dari pertempuran ini. 
Pada 17 Februari Letkol Cleerens mengahadap Pangeran Diponegoro untuk mengajak berunding di Karesidenan. Pada 18 Maret Pangeran Diponegoro tiba di Magelang dengan berkuda tepat pada bulan Ramadhan. Diponegoro kemudian mengusulkan agar perundingan baru diadakan setelah Idul Fitri yang jatuh pada 27 maret 1830. Pada tanggal 28 Maret 1830 sehari setelah Idul Fitri, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Akhirnya Pangeran Diponegoro menerima tawaran Jenderal De Kock untuk berunding. Perundingan berlangsung di Magelang. Namun karena di dalam perundingan tidak menemui kesepakatan, Pangeran Diponegoro ditangkap. (Tuntutan Pangeran Diponegoro adalah agar mendirikan negara merdeka yang bersendikan syariat dan Islam, tuntutan Pangeran Diponegoro ini dinilai berlebihan). Deangan demikian berakhirlah Perang Diponegoro atau Perang Jawa. Hari itu juga Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April 1830. 30 April 1830 Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Dipasana dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertaleksana, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruna akan dibuang ke Manado. 1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.
8 Januari 1855 Diponegoro wafat di Benteng Rotterdam, Makassar dan dimakamkan di Makassar.
Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Setelah perang berakhir, jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.
Setelah perang Dipenogoro, pada tahun 1932 seluruh raja dan bupati di Jawa tunduk menyerah kepada Belanda kecuali bupati Ponorogo Warok Brotodiningrat III, justru hendak menyerang seluruh kantor belanda yang berada di kota-kota karesidenan Madiun dan di Jawa tengah seperti Wonogori, Karanganyar.
Secara Umum Perang ini berlangsung selama 5 tahun, pasukan Pangeran Diponegoro dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, sementara pihak Belanda dipimpin oleh Jenderal  Hendrik Merkus de Kock.
Karena bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak, konon keturunan Diponegoro tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton hingga Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.
Karena kegemilangannya & kegencaran dalam perang serta perolehan beberapa kemenangan, Pangeran Diponegoro diberi gelar Sultan Abdulhamid Cokro Amirul Mukminin Sayidin Panotogomo Khalifatulloh Tanah Jowo.

Sumber               :
4.         http://www.sekelumitpandang.com/perang-diponegoro/

gambar : https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Diponegoro

No comments:
Write comments