Perang Diponegoro atau juga sering disebut Perang Jawa,(Inggris
: The Java War, Belanda : De Java Oorlog). merupakan perang besar yang terjadi
di Jawa berlangsung selama lima tahun, yakni dari tahun 1825-1830 . Perang yang
merupakan salah satu perang terbesar pada masa colonial Belanda di
Indonesia(pada saat itu namanya Hindia Belanda).
Perseteruan keraton Jawa dengan Belanda dimulai
semenjak kedatangan Marsekal Herman Williem Daendels di Batavia pada 5 Januari
1808, meskipun ia sebenarnya hanya ditugaskan untuk mempersiapkan Jawa sebagai
baris pertahanan Perancis melawan Inggris(pada saat itu Belanda dikuasai
Perancis), tetapi Daendels juga mengubah etika dan tata upacara lain yang
membuat ketidaknyamanan serta kebencian dari pihak keratin Jawa. Ia memaksa
pihak Keraton Yogyakarta untuk memberinya akses terhadap berbagai sumber daya
alam dan manusia dengan mengerahkan kekuatan militernya, membangun jalan dari
Anyer hingga Panarukan, hingga akhirnya terjadi insiden perdagangan kayu jati
di daerah mancanegara (wilayah Jawa di timur Yogyakarta) yang
menyebabkan terjadinya pemberontakan Raden Ronggo. Setelah gagalnya
Pemberontakan Raden Ronggo(1810), Daendels memaksa Sultan Hamengkubuwono II
untu membayar kerugian akibat perang serta melakukan berbagai penghinaan lain
yang menyebabkan perseteruan antar keluarga keratin(1811), pada tahun yang
sama, pasukan Inggris mendarat dan mengalahkan Belanda di Jawa.
Meskipun pada mulanya Inggris yang dipimpin Thomas Stamford
Bingley Raffles memberikan
dukungan kepada Sultan Hamengkubuwana II, pasukan Inggris akhirnya menyerbu Keraton
Yogyakarta (19-20 Juni 1812) yang menyebabkan Sultan Hamengkubuwana II diturunkan secara tidak hormat dan digantikan
putra sulungnya, yaitu Sultan Hamengkubuwana III. Perisitwa ini dikenal dengan nama Geger Sepehi. Inggris
memerintah hingga tahun 1815 dan mengembalikan Jawa kepada Belanda sesuai isi
Perjanjian Wina (1814) di bawah Gubernur Jenderal Belanda van der Capellen. Pada masa
pemerintahan Inggris, Hamengkubuwana III wafat dan digantikan putranya, adik
tiri Pangeran Diponegoro, yaitu Hamengkubuwana IV yang
berusia 10 tahun (1814), sementara Paku Alam I menjadi adipati di Puro Kadipaten Pakualaman sekaligus wali
Raja sedangkan Patih Danuredjo
III bertindak sebagai wali Raja.
Pada tanggal 6 Desember 1822, Sultan Hamengkubuwana
IV meninggal pada usia 19 tahun. Ratu Ageng (permaisuri Hamengkubuwana II) dan
Gusti Kangjeng Ratu Kencono (permaisuri Hamengkubuwana IV) memohon dengan
sangat kepada pemerintah Belanda untuk mengukuhkan putra Hamengkubuwana IV yang
masih berusia 2 tahun untuk menjadi Hamengkubuwana V serta tidak lagi
menjadikan Paku Alam sebagai wali. Pangeran Diponegoro selanjutnya diangkat
menjadi wali bagi keponakannya bersama dengan Mangkubumi. Pada tahun 1823,
tahta keraton yang seharusnya diduduki wali sultan yang masih balita ternyata
ditempati oleh Residen Belanda saat itu, yaitu Smissaert, sehingga sangat
melukai hati masyarakat Yogya dan Pangeran Diponegoro, meskipun ada kecurigaan
bahwa tindakan Smissaert disebabkan kedua ratu tidak ingin melihat Diponegoro
duduk di atas tahta. Menindaklanjuti pengamatan Van der Graaf pada tahun 1821
yang melihat para petani lokal menderita akibat penyalahgunaan penyewaan tanah
oleh warga Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman, van der Capellen mengeluarkan
dekret pada tanggal 6 Mei 1823 bahwa semua tanah yang disewa orang Eropa dan
Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya per 31 Januari 1824. Namun,
pemilik lahan diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa lahan Eropa.
Keraton Yogyakarta terancam bangkrut karena tanah yang disewa adalah milik
keraton sehingga Pangeran Diponegoro terpaksa meminjam uang kepada Kapitan
Tionghoa di Yogyakarta pada masa itu. Smissaert berhasil menipu kedua wali
sultan untuk meluluskan kompensasi yang diminta oleh Nahuys atas perkebunan di
Bedoyo sehingga membuat Diponegoro memutuskan hubungannya dengan keraton.
Putusnya hubungan tersebut terutama disebabkan tindakan Ratu Ageng (ibu tiri pangeran)
dan Patih Danurejo yang pro kepada Belanda. Pada 29 Oktober 1824, Pangeran
Diponegoro mengadakan pertemuan di rumahnya, di Tegalrejo, untuk membahas
mengenai kemungkinan pemberontakan pada pertengahan Agustus. Pangeran
Diponegoro membulatkan tekad untuk melakukan perlawanan dengan membatalkan
pajak Puwasa agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan
makanan.
Pemicu perang besar di Jawa ini sebenarnya bukan
satu alasan saja yaitu dibangunnya rel di pemakaman leluhur Pangeran Diponegoro
di Tegalrejo, tetapi karena memang sudah sangat muaknya Pangeran
Diponegoro terhadap perilaku Belanda yang memang telah sewenang-wenang, mulai
dari berkecimpungnya mereka dengan keputusan-keputusan kesultanan, tingginya
pajak yang dibebankan kepada masyarakat, dan tindakan mereka yang menyeleweng
dari syariat-syariat Islam.
Pada pertengahan bulan Mei 1825, Smissaert memutuskan untuk memperbaiki jalan-jalan
kecil di sekitar Yogyakarta. Namun, pembangunan jalan yang awalnya dari Yogyakarta ke Magelang melewati Muntilan dibelokkan
melewati pagar sebelah timur Tegalrejo. Pada salah satu sektor, patok-patok
jalan yang dipasang orang-orang kepatihan melintasi makam leluhur Pangeran
Diponegoro. Patih Danurejo tidak memberitahu keputusan Smissaert sehingga
Pangeran Diponegoro baru mengetahui setelah patok-patok dipasang. Perseteruan
terjadi antara para petani penggarap lahan dengan anak buah Patih Danurejo
sehingga memuncak di bulan Juli. Patok-patok yang telah dicabut kembali
dipasang sehingga Pangeran Diponegoro menyuruh mengganti patok-patok dengan
tombak sebagai pernyataan perang.
Pada hari Rabu, 20 Juli 1825, pihak istana mengutus dua bupati keraton senior
yang memimpin pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan
Mangkubumi di Tegalrejo sebelum perang pecah. Meskipun kediaman Diponegoro
jatuh dan dibakar, pangeran dan sebagian besar pengikutnya berhasil lolos
karena lebih mengenal medan di Tegalrejo. Pangeran Diponegoro beserta keluarga dan
pasukannya bergerak ke barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan
meneruskan ke arah selatan hingga keesokan harinya tiba di Goa Selarong yang
terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Pangeran Diponegoro
kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan
Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati goa sebelah
Barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaan dia.
Sedangkan Raden Ayu
Retnaningsih (selir yang
paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya
menempati Goa Putri di sebelah Timur.
Penyerangan di Tegalrejo memulai perang Diponegoro.
Pangeran Diponegoro memimpin masyarakat Jawa, dari kalangan petani hingga
golongan priyayi yang menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya
sebagai dana perang, dengan semangat "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi
tekan pati"; "sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati".
Sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Pangeran Diponegoro. Bahkan Pangeran Diponegoro juga berhasil
memobilisasi para bandit profesional yang sebelumnya ditakuti oleh penduduk
pedesaan, meskipun hal ini menjadi kontroversi tersendiri. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai
Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Dalam perang Jawa
ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta
Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.
Di sisi lain, sebenarnya Belanda sedang
menghadapi Perang Padri di Sumatera Barat. Penyebab
Perang Paderi adalah perselisihan antara Kaum Padri (alim ulama) dengan Kaum
Adat (orang adat) yang mempermasalahkan soal agama Islam, ajaran-ajaran agama,
mabuk-mabukan, judi, maternalisme dan paternalisme. Saat inilah
Belanda masuk dan mencoba mengambil kesempatan. Namun pada akhirnya Belanda
harus melawan baik kaum adat dan kaum paderi, yang belakangan bersatu. Perang
Paderi berlangsung dalam dua babak: babak I antara 1821-1825, dan babak II
setelah perang Diponegoro nanti. Untuk menghadapi Perang Diponegoro, Belanda
terpaksa menarik pasukan yang dipakai perang di Sumatera Barat untuk menghadapi
Pangeran Diponegoro yang bergerilya dengan gigih. Sebuah gencatan senjata
disepakati pada tahun 1825,
dan sebagian besar pasukan dari Sumatera Barat dialihkan ke Jawa.
Bagi Diponegoro dan para pengikutinya, perang ini
merupakan perang jihad melawan
Belanda dan orang Jawa murtad. Sebagai seorang muslim yang saleh, Diponegoro
merasa tidak senang terhadap religiusitas yang kendur di istana Yogyakarta
akibat pengaruh masuknya Belanda, disamping kebijakan-kebijakan pro-Belanda
yang dikeluarkan istana.[9]Infiltrasi pihak
Belanda di istana telah membuat Keraton Yogyakarta seperti rumah bordil. Di
lain pihak, Smissaert menulis bahwa Pangeran Diponegoro semakin lama semakin
hanyut dalam fanatisme dan banyak anggota kerajaan yang menganggapnya kolot
dalam beragama.
Dalam laporannya, Letnan Jean Nicolaas de Thierry
menggambarkan Pangeran Diponegoro mengenakan busana bergaya Arab dan serban
yang seluruhnya berwarna putih. Busana tersebut juga dikenakan oleh pasukan
Diponegoro dan dianggap lebih penting dibandingkan busana adat Jawa meskipun
perang telah berakhir. Laporan Paulus Daniel Portier, seorang indo, menyebutkan
bahwa para tawanan perang Belanda memperoleh ancaman nyawa jika tidak bersedia
masuk Islam.
Pertempuran terbuka dengan pengerahan
pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri (yang sejak perang Napoleon menjadi
senjata andalan dalam pertempuran frontal) di kedua belah pihak berlangsung
dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung
sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda
pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh
pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari
satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh-puluh
kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan di dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru
berlangsung terus sementara peperangan sedang berkecamuk. Para telik sandi dan
kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk
menyusun strategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan
waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan
strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu
dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerja sama
dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan
tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan
berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka
terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya
merupakan "musuh yang tak tampak", melemahkan moral dan kondisi fisik
bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda
akan mengonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut,
memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin
perjuangan rakyat yang berjuang di bawah komando Pangeran Diponegoro. Namun
pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
Di Selarong Pangeran Diponegoro mambagi tugas untuk
melakukan perlawanan. Pangeran Diponegoro Anom ,putra pangeran Diponegoro, dan
Tumenggung Danukusuma diberi tugas untuk melakukan perlawanan di daerah Bagelen.
Pangeran Adiwinono dan Mangundipuro mendapat tugas mengadakan perlawanan di
daerah Kedu dan sekitarnya . Pangeran Abu Bakar dan Tumenggung Jaya Mustopo
mengadakan perlawanan di daerah Lowano. Pangeran Adisurya dan Pangeran
Sumonegoro mengadakan perlawanan di Kulon Progo Tumenggung Cokronegoro memimpin
pasukan di Godean. Pangeran Joyokusumo ( Pangeran Bei ) memimpin pasukan di
utara Yogyakarta dibantu Tumenggung Suradilogo. Yogyakarta bagian timur
diserahkan kepada Tumenggung Suryonegoro dan Tumenggung Suronegoro. Pertahanan
di Selarong diberikan kepada Joyonegoro,pangeran Suryodiningrat dan Pangeran
Joyowinoto. Gunung Kidul diberikan kepada pangeran Singosari dan Pangeran
Warakusumo. Perlawanan di daerah Pajang dipegang oleh Pangeran Mertoloyo Pangeran
Wiryokusumo, Tumenggung Sindurejo dan Pangeran Diporejo. Perlawanan di Sukawati
dipimpin oleh Kertonegara , Bupati Mangunnegara memimpin perlawanan di Madiun
Magetan dan Kediri.
Insiden Tegalreja tersebut terdengar oleh Gubernur
Hindia Beland saat itu Van der Cepellen, dan memutuskan untuk mengirimkan
Jenderal De Kock sebagai lawan tanding Pangeran Diponegoro. Jenderal De Kock
sampai di Semarang pada tanggal 29 Juli 1825 dan tiba di Surakarta tanggal 30
Juli 1825. Membuat perundingan dengan Pakubuwana VI dan hasilnya Pakubuwana VI
menyetjui untuk membantu Belanda menghentikan pemberontakan Pangeran
Diponegoro. Untuk memadamkannya Belanda mengirimkan pasukan bantuan dari
Semarang. Sesampainya di lembah Logerok (Lembah Pisangan) pasukan Belanda
dengan dipimpin oeh kapten Keemsius disergap oleh pasukan Diponegoro dibawah
pimpinan Musyosentika. Pasukan hancur musuh milik Belanda kalah telak dan
sebanyak 200 orang tewas, serta berhasil dirampasnya uang 50.000 gulden yang
akan dikirim kepada residen Yogyakarta. Kemenangan ini menjadi yang pertama di
akhhir Juli 1825 serta membuat semain banyaknya orang yang menyebrang ke sisi
golongan Pangeran Diponegoro.Kemudian bala bantuan dari timur yang berisikan
dari legiun Mangkunegaraan dipimpin oleh Raden mas Suwongso menantu
Mangkunegoro disergap di Randugunting, Kalasan. Hampir seluruh prajurit tewas.
Pemimpinnya tersebut tertawan dan dibawa ke Selarong tetapi kemudian dibebaskan
oleh Pangeran Diponegoro.
Mendengar berita kemenangan pasukan Diponegoro di
logorok dan Randugunting dan di lain lain tempat, rakyat semakin bergerak dan
kuat. Keluarga Keraton Yogyakarta ketakutan dan bersembunyi di benteng Belanda.
Banyak alim ulama kraton yang meninggalkan kraton dan bergabung dengan pasukan
Diponegoro.
Berita kemenangan-kemenangan tersebut sangat cepat
menyebar bak kebakaran di padang rumput sehingga menghasilkan lebih banyak lagi
simpaitisan—simpatisan yang menyebrang ke sisi Pangeran Diponegoro, dan
menimbulkan perlawanan dimana-mana di Jawa.
Di Kedu pertempuran terjadi sangat sengit, pasukan
rakyat yang disebut Bulkiya yang dipimpin oleh Haji Usaman Alibasah dan Haji
Abdulkabir melawan pasukan Belanda dengan bantuan dari Bupati Magelang
Tumenggung Hadiningrat. Pasukan Pangeran Diponegoro melumat dan memukul mundur
pasukan Belanda serta menewaskan Bupati Magelang, Tumenggung Danuningrat. Di
daerah Menoreh pun pasukan Pangeran Diponegoro dapat mengancurkan pasukan
Belanda dan menewaskan Bupati Menoreh Ario Sumodilogo. Pada tanggal 7 Agustus
1825, Jenderal De Kock mengirim surat untuk mengadakan perundingan dengan
segala pihak, dan dia diundang ke Selarong, tetapi Jenderal De Kock tidak
berani datang.
Perlwanan rakyat terus berkobar , upaya de Kock
untuk mengatasi perlawanan rakyat adalah degan cara memanggil opsir opsir yang
bertugas diluar Jawa untuk menghadapi Diponegoro. Jenderal Van Geen yang
bertugas memadamkan perlawanan di Sulawesi ditarik ke Jawa, selama berminggu
minggu dia harus bertempur melawan rakyat Semarang yang dipimpin oleh Pangeran
Serang. Pangeran Serang kemudian menuju ke Sukawati diselatan bergabung dengan
pasukan Kartodirja. Kemudian mereka memimpin perlawanan rakyat di Rembang,
Blora dan Bojonegara. Tumenggung Kartadirja tertembak kakinya kemudian ditawan
di Semarang. Kemudian Pangeran Serang bergabung ke Madiun dan selanjutnya
bergabung dengan Pangeran Diponegoro di Yogyakarta.
Jenderal de Kock berusaha mengepung markas pangeran
Diponegoro di Selarong akan tetapi untuk mengepung Selarong de Kock terlebih
dahulu harus menghadapi perlawanan rakyat di Semarang,Bagelen,Kedu, Banyumas
Madiun dan Surakarta. Untuk itu de Kock menugaskan tangan kanannya yaitu Letkol
Diell dan Letkol Cleerens. Letkol Diell menghadapi perlawanan rakyat di
Banyumas dan Letkol Cleerens di Tegal dan Pekalongan.
Pasukan Belanda mengadakan serangan besar besaran ke
Selarong pada 2 dan 4 Oktober 1825 namun Selarong sudah kosong karena Pangeran
Diponegoro memindahkan markasnya ke Dekso. Para wanita,anak anak dan orang tua
dipindahkan ke Suwela. Di situ Pangeran Diponegoro memperkuat dan memperbaiki
pasukannya. Ia membentuk kesatuan pasukan baru dengan Senapati tangguh dan
berpengalaman.
Pada akhir tahun 1825 Pasukan Diponegoro berhasil
memukul mundur pasukan Belanda yang menyerang Imogiri. Di Yogya timur
Tumenggung Suronegoro berhasil menggempur pertahanan Belanda dan mampu
mengambil banyak senapan dan meriam dari Belanda.
Hanya di Yogya bagian barat pasukan Belanda mampu
mengepung Dekso,markas pangeran Diponegoro. Kemudian pada tanggal 16 April 1826
pasukan gabungan Belanda dan Mangkunegaran menyerang pertahanan Pasukan
Dipangera di Plered,tapi kemudian ditinggalkan dan diduduki kembali oleh
pasukan Diponegoro. Pada 6 Juni dibawah pimpinan Kol Cochius, Pangeran Suria
mataram dan pangeran Suriadiningrat. Kraton Tua Plered kembali dikuasai oleh
Pasukan Belanda dan Mangkunegaran.
Pada 8 Juli 1826 Dekso diserang akan tetapi pangeran
Diponegoro telah berpindah ke desa Kasuran. Kemudian tanggal 28 Juli pasukan
Belanda kembali bergerak menuju Yogyakarta,di Kasuran pasukan Belanda disergap
oleh Pasukan Diponegoro Van Geen kabur dan Kol Cochius dan dua orang bangsawan
kraton tewas.
Selama tahun 1826 Pangeran Diponegoro selalu
memenangkan pertempuran melawan Belanda dan Mangkunegaran. Perlawanan rakyat di
Bagelen berhasil memukul mundur Belanda. Pangeran Bei memenangkan pertempuran
di Kejiwan. Dalam pertempuran di Delanggu pasukan Diponegoro berhasil
memenangkan pertempuran sengit, dan mendapatkan berpuluh senapan dan dua belas
meriam, pertempuran di Delanggu adalah kemenangan terbesar bagi pihak Pangeran
Diponegoro.
Karena mengalami kekalahan berturut turut sejak awal perang de Kock kemudian mengangkat kembali Sultan Hamengkubuwono II pada 1826. Pengangkatan ini bermaksud agar pimpinan perjuangan rakyat yang dulu setia kepada Sultan Sepuh mau meninggalkan perjuagan dan kembali ke kraton. Akan tetapi pemimpin pasukan tetap setia kepada Pangeran Diponegoro, dan tetap melanjutkan perlawanan.
Karena mengalami kekalahan berturut turut sejak awal perang de Kock kemudian mengangkat kembali Sultan Hamengkubuwono II pada 1826. Pengangkatan ini bermaksud agar pimpinan perjuangan rakyat yang dulu setia kepada Sultan Sepuh mau meninggalkan perjuagan dan kembali ke kraton. Akan tetapi pemimpin pasukan tetap setia kepada Pangeran Diponegoro, dan tetap melanjutkan perlawanan.
Pada tahun 1827 karena telah menelan kekalahan
bertubi tubi sejak dua tahun berperang. Jenderal de Kock mengubah siasat perang
menjadi Benteng Stelsel, yaitu dengan mendirikan benteng di tempat yang
diduduki. Siasat ini untuk mengimbangi siasat perang gerilya yang dilakukan
oleh Pangeran Diponegoro yang selalu berpindah tempat. Sehingga pasukan de Kock
tidak perlu mencari Diponegoro. Total 200 benteng dibangun untuk mengatasi
perlawanan Pangeran Diponegoro.
Strategi benteng stelsel ini tidak langsung behasil
karena pasukan Diponegoro masih memenangkan pertempuran pertempuran di Kedu. Di
Banyumas pasukan Belanda bahkan harus kehilangan letkol Diels dan letkol de
Bost. Hanya pasukan di daerah yogya selatan yang mamp dimenangkan oleh pasukan
Belanda dimana Pangeran Notonegoro dan Pangeran Serang menyerah pada tanggal 21
Juni 1827 atas bujukan residen Yogya, van Lowick. Itu merupakan pukulan telak
bagi pasukan Diponegoro.
Pada 1828 Belanda memindahkan markasnya ke Magelang
Karena dinilai lebih strategis.,sebab lokasinya yang strategis untuk memadamkan
perlawanan rakyat. Belanda terus memperkuat jaringan bentengnya, mereka mempersempit
ruang gerak pasukan Diponegoro. Pada 1828 tepatnya pada tanggal 18 April
Pangeran Natadiningrat putra Pangeran Mangkubumi menyerah. Penyerahan ini
sangat menggembirakan bagi Belanda karena Belanda berharap Pangeran Mangkubumi
juga ikut menyerah ke Belanda.
Disamping persenjataan yang lengkap dan modern.
Belanda juga melancarkan cara lain untuk mempengaruhi para pemimpin pasukan
Diponegoro untuk menyerahkan diri dengan iming iming posisi di kraton.
Pada akhir 1828 terjadi pertempuran di Penangguhan.
Disini jatuh banyak korban dari Belanda maupun dari pasukan pangeran
Diponegoro. Kapten Van Ingen dan Pangeran Prangwedana tewas dan di pihak
Diponegoro komandan pasukan Mantirejon meninggal. Kedua belah pasukan menarik
diri dari pertempuran ini.
Pada 17 Februari Letkol Cleerens mengahadap Pangeran
Diponegoro untuk mengajak berunding di Karesidenan. Pada 18 Maret Pangeran Diponegoro
tiba di Magelang dengan berkuda tepat pada bulan Ramadhan. Diponegoro kemudian
mengusulkan agar perundingan baru diadakan setelah Idul Fitri yang jatuh pada
27 maret 1830. Pada tanggal 28 Maret 1830 sehari setelah Idul Fitri, Jenderal De Kock
berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Akhirnya Pangeran Diponegoro menerima
tawaran Jenderal De Kock untuk berunding. Perundingan berlangsung di Magelang.
Namun karena di dalam perundingan tidak menemui kesepakatan, Pangeran
Diponegoro ditangkap. (Tuntutan Pangeran Diponegoro adalah agar mendirikan
negara merdeka yang bersendikan syariat dan Islam, tuntutan Pangeran Diponegoro
ini dinilai berlebihan). Deangan demikian berakhirlah Perang Diponegoro atau
Perang Jawa. Hari itu juga Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke
Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke
Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April 1830. 30 April 1830 Pangeran
Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Dipasana dan istri, serta para
pengikut lainnya seperti Mertaleksana, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruna akan
dibuang ke Manado. 1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi
Selatan.
8 Januari 1855 Diponegoro wafat di Benteng Rotterdam, Makassar dan dimakamkan di Makassar.
8 Januari 1855 Diponegoro wafat di Benteng Rotterdam, Makassar dan dimakamkan di Makassar.
Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir perlawanan
bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia
sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Setelah
perang berakhir, jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.
Setelah perang Dipenogoro, pada tahun 1932 seluruh
raja dan bupati di Jawa tunduk menyerah kepada Belanda kecuali bupati Ponorogo
Warok Brotodiningrat III, justru hendak menyerang seluruh kantor belanda yang
berada di kota-kota karesidenan Madiun dan di Jawa tengah seperti Wonogori, Karanganyar.
Secara Umum Perang ini berlangsung selama 5 tahun,
pasukan Pangeran Diponegoro dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, sementara pihak
Belanda dipimpin oleh Jenderal Hendrik Merkus de Kock.
Karena bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta
Diponegoro dianggap pemberontak, konon keturunan Diponegoro tidak diperbolehkan
lagi masuk ke Kraton hingga Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro
dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu.
Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus
silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.
Karena kegemilangannya & kegencaran dalam perang
serta perolehan beberapa kemenangan, Pangeran Diponegoro diberi
gelar Sultan Abdulhamid Cokro Amirul Mukminin Sayidin Panotogomo
Khalifatulloh Tanah Jowo.
Sumber :
4.
http://www.sekelumitpandang.com/perang-diponegoro/
gambar : https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Diponegoro
gambar : https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Diponegoro
No comments:
Write comments