1.
Kerajaan Gowa-Tallo
Kerajaan yang terletak di Sulawesi Selatan sebenarnya
terdiri atas dua kerjaan: Gowa dan Tallo. Kedua kerajaan ini kemudian bersatu.
Raja Gowa, Daeng Manrabia, menjadi raja bergelar Sultan Alauddin dan Raja
Tallo, Karaeng Mantoaya, menjadi perdana menteri bergelar Sultan Abdullah.
Karena pusat pemerintahannya terdapat di Makassar, Kerajaan Gowa dan Tallo
sering disebut sebagai Kerajaan Makassar.
Karena posisinya yang strategis di antara wilayah
barat dan timur Nusantara, Kerajaan Gowa dan Tallo menjadi bandar utama untuk
memasuki Indonesia Timur yang kaya rempah-rempah. Kerajaan Makassar memiliki
pelaut-pelaut yang tangguh terutama dari daerah Bugis. Mereka inilah yang
memperkuat barisan pertahanan laut Makassar.
Raja yang terkenal dari kerajaan ini ialah Sultan
Hasanuddin (1653-1669). Hasanuddin berhasil memperluas wilayah kekuasaan
Makassar baik ke atas sampai ke Sumbawa dan sebagian Flores di selatan. Karena
merupakan bandar utama untuk memasuki Indonesia Timur, Hasanuddin bercita-cita
menjadikan Makassar sebagai pusat kegiatan perdagangan di Indonesia bagian
Timur. Hal ini merupakan ancaman bagi Belanda sehingga sering terjadi
pertempuran dan perampokan terhadap armada Belanda. Belanda kemudian menyerang
Makassar dengan bantuan Aru Palaka, raja Bone. Belanda berhasil memaksa
Hasanuddin, Si Ayam Jantan dari Timur itu menyepakati Perjanjian Bongaya pada
tahun 1667. Isi perjanjian itu ialah: Belanda mendapat monopoli dagang di
Makassar, Belanda boleh mendirikan benteng di Makassar, Makassar harus
melepaskan jajahannya, dan Aru Palaka harus diakui sebagai Raja Bone.
Sultan Hasanuddin kemudian digantikan oleh Mapasomba.
Namun, Mapasomba tidak berkuasa lama karena Makassar kemudian dikuasai Belanda,
bahkan seluruh Sulawesi Selatan. Tata kehidupan yang tumbuh di Makassar
dipengaruhi oleh hukum Islam. Kehidupan perekonomiannya berdasarkan pada
ekonomi maritim: perdagangan dan pelayaran. Sulawesi Selatan sendiri merupakan
daerah pertanian yang subur. Daerah-daerah taklukkannya di tenggara seperti
Selayar dan Buton serta di selatan seperti Lombok, Sumbawa, dan Flores juga
merupakan daerah yang kaya dengan sumber daya alam. Semua itu membuat Makassar
mampu memenuhi semua kebutuhannya bahkan mampu mengekspor. Karena memiliki
pelaut-pelaut yang tangguh dan terletak di pintu masuk jalur perdagangan
Indonesia Timur, disusunlah Ade’Allapialing Bicarana Pabbalri’e, sebuah tata
hukum niaga dan perniagaan dan sebuah naskah lontar yang ditulis oleh Amanna
Gappa.
2. Kerajaan Makassar
Pada abad ke- 16 di pulau Sulawesi
berkembang banyak kerajaan diantaranya kerajaan Luwu, Gowa, Wajo, Soppeng,
Tallo dan Bone. Diantara kerajaan-kerajaan tersebut terdapat persaingan
perebutan hegemoni di Sulawesi Selatan dan kawasan Indonesia bagian Timur. Dua
kerajaan berhasil memenangkan persaingan tersebut, yaitu Gowa dan Tallo yang
kemudian lebih dikenal sebagai Kerajaan Makassar.Kerajaan Makassar mencapai
puncak kejayaannya pada masa Sultan Hasanuddin (1653-1669
M).
Sultan Hasanuddin
berhasil memperluas daerah kekuasaannya di Sulawesi Selatan termasuk Kerajaan
Bone. setelah VOC mengetahui pelabuhan Makassar yaitu Sombaopu cukup
ramai dan banyak menghasilkan beras. Kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan
memiliki tradisi merantau.Tradisi ini berkaitan dengan kehidupan ekonomi
perdagangan antar pulau. Pada masa kejayaannya, pedagang Makassar melakukan
kegiatan perdagangan dengan berbagai Pelabuhan di seluruh Nusantara.Hubungan
diplomatik juga dilakukan antara lain dengan kerajaan-kerajaan di Asia, seperti
Mindanao, Mogul, Turki dan Sulu. Sikap terbuka masyarakat Kerajaan Makassar
menyebabkan terbentuknya perdagangan bebas di kawasan ini. VOC mulai
mengirimkan utusan untuk membuka hubungan dagang serta membujuk Sultan
Hasanuddin untuk bersama-sama menyerbu Banda (pusat rempah-rempah).
Namun, bujukan VOC itu ditolak. Setelah peristiwa itu antara Makassar dan VOC
mulai terjadi Konflik. Keadaan meruncing sehingga pecah perang terbuka. Dalam
peperangan tersebut, VOC sering mengalami kesulitan dalam menundukkan
Makassar oleh karena itu, VOC memperalat Aru Palaka (Raja Bone) yang
ingin lepas dari kerajaan Makassar dan menjadi kerajaan merdeka. Akhirnya
Makasar diduduki VOC melalui Perjanjian Bongaya tahun 1667 M.
3. Kerajaan/Kesultanan
Jailolo
Kesultanan Jailolo secara utuh dari raja pertamanya
“Kolano Daradjati”. Daftar sisilah raja-raja Jailolo tersebut terdiri dari tiga
bagian. Lembaran besar adalah uraian daftar sisilah yang skemanya diuraikan
seperti “pohon terbalik” yang seluruh tulisan nama-namanya beraksara Arab, satu
lembar lagi adalah salinan ulang yang juga dalam aksara Arab namun lebih
diperinci dan diperjelas dengan melingkari tiap-tiap nama yang tertera karena
lembaran aslinya sudah hampir lapuk, sedangkan satu lagi lembar kecil
bertuliskan huruf arab dan yang berlafadz-kan bahasa Tidore adalah Surat
Keterangan yang manjelaskan tentang daftar sisilah tersebut.
Sebelum
Sdr. Abdullah “Abdul Rahman Haryanto” Syah dinobatkan menjadi Sultan Jailolo masa kini, para keturunan Sultan Doa yang tersebar di mana-mana yakni di Tidore (Soa Sambelo, Mareku dan Toloa), pulau Ternate (Dufa-Dufa), pulau Moti, pulau Makian dan di pulau Ambon sesuai alur dalam daftar sisilah tersebut, mereka seakan telah menutup diri untuk memikirkan “ke-Jailolo-an” nya. Bagi mereka itu semua adalah bagian dari masa lalu. Mungkin yang mereka pikirkan adalah; Cukup kami anak-cucu tahu bahwa nenek moyang kami memang berasal dari Jailolo, itu saja. Dan mungkin juga semboyan latin; “Ibi Bene Ubi Patria – yang berarti ; Dimana hidupku senang di situlah tanah airku” yang ada dalam pikiran mereka, Wallahu wa’lam. Hanya mereka yang tahu. Apalagi setelah dinobatkannya Sdr. Abdullah “Abdul Rahman Haryanto” Syah menjadi “symbol” kesultanan Jailolo modern, membuat ke-tertutup-an mereka semakin rapat. Mengingat hampir semua dari mereka tahu bahwa keturunan Sultan Doa hijrah ke pulau Tidore dan menjadi kawula kesultanan Tidore dan diberikan sebuah kawasan untuk membangun pemukiman (Soa Sambelo – Sabua ma belo) waktu itu adalah akibat dari pergolakan politik intern antar bangsawan di istana Jailolo ketika itu, beliau menyingkir meninggalkan takhtanya dengan tujuan menghindari perang saudara dan pertumpahan darah yang lebih dahsyat lagi yang bisa mengancam kelangsungan dan kehormatan Buldan Jailolo di Limau Tagalaya – Jailolo.
Muhammad Arif Bila (dalam sisilah tersebut ditulis Sultan Gugu Alam) adalah keturunan ke-8 dari Prins Gugu Alam. Prins Gugu Alam adalah nenek moyang keturunan kedelapan ke atas dari Sultan Gugu Alam alias Muhammad Arif Bila – Ada beberapa nama yang sama dalam sisilah ini, namun pada jenjang dan periode yang berbeda waktunya. Prins Gugu Alam adalah adalah adik bungsu dari Sultan Doa dan Prins Prentah. Mereka bertiga adalah anak dari Sultan Yusuf , Sultan Jailolo yang menjadi Sultan Jailolo di tanah Jailolo (Limau Tagalaya) sekitar tahun 1500-an, data tahun yang tepat belum bisa dipastikan.
Sebelum
Sdr. Abdullah “Abdul Rahman Haryanto” Syah dinobatkan menjadi Sultan Jailolo masa kini, para keturunan Sultan Doa yang tersebar di mana-mana yakni di Tidore (Soa Sambelo, Mareku dan Toloa), pulau Ternate (Dufa-Dufa), pulau Moti, pulau Makian dan di pulau Ambon sesuai alur dalam daftar sisilah tersebut, mereka seakan telah menutup diri untuk memikirkan “ke-Jailolo-an” nya. Bagi mereka itu semua adalah bagian dari masa lalu. Mungkin yang mereka pikirkan adalah; Cukup kami anak-cucu tahu bahwa nenek moyang kami memang berasal dari Jailolo, itu saja. Dan mungkin juga semboyan latin; “Ibi Bene Ubi Patria – yang berarti ; Dimana hidupku senang di situlah tanah airku” yang ada dalam pikiran mereka, Wallahu wa’lam. Hanya mereka yang tahu. Apalagi setelah dinobatkannya Sdr. Abdullah “Abdul Rahman Haryanto” Syah menjadi “symbol” kesultanan Jailolo modern, membuat ke-tertutup-an mereka semakin rapat. Mengingat hampir semua dari mereka tahu bahwa keturunan Sultan Doa hijrah ke pulau Tidore dan menjadi kawula kesultanan Tidore dan diberikan sebuah kawasan untuk membangun pemukiman (Soa Sambelo – Sabua ma belo) waktu itu adalah akibat dari pergolakan politik intern antar bangsawan di istana Jailolo ketika itu, beliau menyingkir meninggalkan takhtanya dengan tujuan menghindari perang saudara dan pertumpahan darah yang lebih dahsyat lagi yang bisa mengancam kelangsungan dan kehormatan Buldan Jailolo di Limau Tagalaya – Jailolo.
Muhammad Arif Bila (dalam sisilah tersebut ditulis Sultan Gugu Alam) adalah keturunan ke-8 dari Prins Gugu Alam. Prins Gugu Alam adalah nenek moyang keturunan kedelapan ke atas dari Sultan Gugu Alam alias Muhammad Arif Bila – Ada beberapa nama yang sama dalam sisilah ini, namun pada jenjang dan periode yang berbeda waktunya. Prins Gugu Alam adalah adalah adik bungsu dari Sultan Doa dan Prins Prentah. Mereka bertiga adalah anak dari Sultan Yusuf , Sultan Jailolo yang menjadi Sultan Jailolo di tanah Jailolo (Limau Tagalaya) sekitar tahun 1500-an, data tahun yang tepat belum bisa dipastikan.
Muhamad Arif Bila memiliki 4 orang putera. Ayah dari
Muhamad Arif Bila yakni Syah Yusuf (lain dengan Sultan Yusuf yang ayahnya
Sultan Doa, beda periode) adalah bangsawan Jailolo yang hijrah ke pulau Makian
di desa Tahane. Muhammad Arif Bila sebelum diangkat oleh Sultan Nuku dari
Tidore untuk manjadi Sultan Jailolo I (pada periode kedua sejarah kronologis
kesultanan Jailolo) beliau sebelumnya menjabat sebagai Sangadji Tahane. Setelah
itu selama sekitar 13 tahun jabatannya meningkat menjadi Jogugu kesultanan
Tidore pada saat berkuasanya Sultan Kamaluddin dari Tidore (1784-1797) yang
tidak lain adalah kakak dari Nuku. Ketika Nuku baru menjadi Sultan di Tidore
Muhammad Arif Bila adalah seorang panglima yang handal.
Setelah Nuku mengangkat Muhamad Arif Bila menjadi Sultan Jailolo I (sebutan menurut catatan dari sumber Belanda), tidak semua orang di pulau Halmahera (Utara) mengakui keabsahan dia sebagai Sultan Jailolo, lagi pula mereka yang mengklaim dirinya sebagai Sultan Jailolo ini (sejak tahun 1637 hingga 1918 saat dibuang ke Cianjur) mereka tidak pernah berkuasa di atas tanah Jailolo itu sendiri, melainkan hanya menjadi Sultan Jailolo di pengasingan saja seperti di Weda dan Halmahera belakang termasuk juga juga di pulau Seram.
Setelah Nuku mengangkat Muhamad Arif Bila menjadi Sultan Jailolo I (sebutan menurut catatan dari sumber Belanda), tidak semua orang di pulau Halmahera (Utara) mengakui keabsahan dia sebagai Sultan Jailolo, lagi pula mereka yang mengklaim dirinya sebagai Sultan Jailolo ini (sejak tahun 1637 hingga 1918 saat dibuang ke Cianjur) mereka tidak pernah berkuasa di atas tanah Jailolo itu sendiri, melainkan hanya menjadi Sultan Jailolo di pengasingan saja seperti di Weda dan Halmahera belakang termasuk juga juga di pulau Seram.
4. Kesultanan
Bacan
Kesultanan Bacan adalah suatu kerajaan yang berpusat
di Pulau Bacan, Kepulauan Maluku. Raja Bacan pertama yang memeluk Islam
adalah Raja Zainulabidin yang bersyahadat pada tahun 1521.
Meski berada di Maluku, wilayahnya cukup luas hingga ke wilayah Papua Barat. Banyak kepala suku di wilayah Waigeo, Misool yang terletak di Raja Ampat dan beberapa daerah lain yang berada di bawah
administrasi pemerintahan kerajaan Bacan.
5. Kerajaan Ternate dan Tidore
Kerajaan
Ternate dan Tidore merupakan dua kerajaan di kepulauan Maluku. Dalam sejarah
perkembangannya, kedua kerajaan tersebut bersaing untuk memperebutkan kekuasaan
politik dan ekonomi. Tidak jarang mereka melibatkan kekuatan-kekuatan asing,
seperti Portugis, Spanyol dan Belanda. Kekuatan-kekuatan asing tersebut dalam
perkembangannya berambisi pula untuk menguasai secara monopoli perdagangan
rempah-rempah di kawasan ini. Persaingan antara kerajaan Ternate dan Tidore
diperburuk dengan ikut campurnya bangsa Portugis yang membantu Ternate dan
bangsa Spanyol yang membantu Tidore. Setelah memperoleh keuntungan, kedua
bangsa barat tersebut bersepakat untuk menyelesaikan persaingan mereka dalam Perjanjian
Saragosa ( 22 April 1529). Hasil perjanjian tersebut, Spanyol harus
meninggalkan Maluku dan menguasai Philipina, sedangkan Portugis tetap melakukan
perdagangan di kepulauan Maluku.
Walaupun sedang bersaing memperebutkan hegemoni di kawasan tersebut, kerajaan-kerajaan di Maluku tetap tidak menginginkan bangsa-bangsa barat mengganggu kegiatan perdagangan di kawasan tersebut. Hal itu merupakan salah satu ciri kerajaan-kerajaan Islam di Maluku. Oleh karena itu, mereka selalu mengadakan perlawanan terhadap kekuasaan asing. Misalnya, perlawanan yang dilakukan oleh Sultan Hairun (1550 – 1570 M) dan perlawanan Sultan Baabullah (1570-1583).Perlawanan yang terakhir ini mampu memaksa bangsa Portugis meninggalkan Maluku dan memindahkan kegiatannya ke Timor Timur (sekarang Timor Leste). Adapaun perlawanan terhadap Belanda dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1780 – 1805 M).
No comments:
Write comments