1. Kerajaan Sriwijaya
Pengaruh Islam
Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur
sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara, sekaligus sebagai pusat
pembelajaran agama Budha, juga ramai dikunjungi pendatang dari Timur Tengah dan
mulai dipengaruhi oleh pedagang dan ulama muslim. Sehingga beberapa kerajaan
yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi
cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya
pengaruh Sriwijaya. Ada sumber yang menyebutkan, karena pengaruh orang muslim
Arab yang banyak berkunjung di Sriwijaya, maka raja Sriwijaya yang bernama Sri
Indrawarman masuk Islam pada tahun 718. Sehingga sangat dimungkinkan kehidupan
sosial Sriwijaya adalah masyarakat sosial yang di dalamnya terdapat masyarakat
Budha dan Muslim sekaligus. Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya berkirim surat
ke khalifah Islam di Suriah. Bahkan disalah satu naskah surat adalah ditujukan
kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720M) dengan
permintaan agar khalifah sudi mengirimkan da'i ke istana Sriwijaya.
Raja Sri Maharaja
Sri Maharaja Indra Warmadewa atau Sri Indrawarman
merupakan seorang maharaja Sriwijaya, yang namanya dikenal dalam kronik Tiongkok sebagai Shih-li-t-'o-pa-mo.
Munculnya nama Maharaja Sriwijaya Sri Indrawarman
berdasarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah
tahun 718. Dalam surat itu disebutkan dikirim dari seorang Maharaja, yang
memiliki ribuan gajah, memiliki rempah-rempah dan wewangian serta kapur barus,
dengan kotanya yang dilalui oleh dua sungai sekaligus untuk mengairi lahan
pertanian mereka dan mengantarkan hadiah untuk khalifah pada waktu itu.
Kemungkinan khalifah Umar bin Abdul-Aziz juga memberikan hadiah untuk utusan
Sriwijaya dan mereka kembali dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit
hitam).
Kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih
dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo pada tahun 724 mengirimkan hadiah buat kaisar
Cina, berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).
2. Kerajaan Demak
Kerajaan Demak merupakan Kerajaan Islam pertama di
Jawa. Pendirinya ialah Raden Fatah (1478 – 1518 M). Kerajaan ini memiliki
wilayah yang luas dan membentang di pesisir utara Jawa, bekas Kerajaan
Majapahit.
Setelah sebagian besar wilayah Jawa dikuasainya,
Kerajaan Demak melakukan ekspansi ke luar Jawa. Caranya, dengan menyerang
Malaka yang sudah jatuh ketangan Portugis. Pemimpin serangan itu ialah Pati
Unus (1518-1521 M) dan dikenal dengan Pangeran Sabrang Lor. Serangan itu
mengalami kegagalan, karena jarak serangan terlalu jauh dan Demak kurang
memiliki persenjataan. Walaupun gagal, kerajaan Demak telah membuktikan bahwa
kerajaan Nusantara mampu melawan kekuatan bangsa Barat.Kerajaan Demak mengalami
kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Trenggono (1521-1546 M). Pada masa
pemerintahannya, Demak berusaha membendung masuknya Portugis ke Jawa. Setelah
Sultan Trenggono wafat, Demak mengalami kemunduran yang disebabkan adanya
perebutan kekuasaan dan kelemahan sistem pemerintahan di Kerajaan Demak. Kerajaan
Demak memiliki peranan besar sebagai pusat penyebaran Islam di Jawa.
Demak pun membangun masjid yang menggunakan perpaduan antara kebudayaan Jawa
dan Islam. Masjid yang dimaksud adalah Masjid Raya Demak dan Masjid
Raya Kudus.
3. Kerajaan Gresik
Giri Kedaton adalah sebuah “kerajaan” agama Islam
di daerah Gresik, Jawa Timur sekitar abad ke-15 sampai 17.
Kerajaan ini pernah berjaya sebagai pusat agama Islam yang pengaruhnya bahkan
sampai menyebar ke daerah Maluku.
Awal Berdirinya
Giri Kedaton didirikan oleh Raden Paku,
seorang anggota Walisongo tahun 1487. Suatu ketika dikisahkan, Raden Paku pergi menemui
ayahnya yang menjadi ulama di Pasai, bernama Maulana Ishak. Ayahnya itu menyuruhnya untuk
membangun sebuah pondok pesantren di daerah Gresik.
Raden Paku menemukan tanah yang mirip dengan tempat
tinggal ayahnya. Tanah tersebut terletak di Bukit Giri (sekarang masuk
kecamatan Kebomas, Gresik). Di atas bukit itu didirikan
sebuah pesantren bernama Giri Kedaton. Raden Paku sebagai pemimpin bergelar
Prabu Satmata, atau Sunan Giri I.
Puncak Kejayaan
Giri Kedaton mengalami puncak kejayaan di bawah
kepemimpinan Sunan Prapen tahun 1548–1605. Saat itu Giri tidak hanya sekadar sekolah agama,
namun juga menjadi “kerajaan” yang meiliki kekuatan politik.
Keruntuhan
Giri Kedaton yang sudah menjadi bawahan Mataram
kemudian mendukung pemberontakan Trunojoyo
dari Madura
terhadap pemerintahan Amangkurat I putra Sultan Agung. Panembahan
Ageng Giri aktif mencari dukungan untuk memperkuat barisan pemberontak.
Puncak pemberontakan terjadi tahun 1677 di mana Kesultanan Mataram mengalami keruntuhan.
Amangkurat I sendiri tewas dalam pelarian. Putranya yang bergelar Amangkurat II
bersekutu dengan VOC
melancarkan aksi pembalasan.
Amangkurat II yang menjadi raja tanpa takhta berhasil
menghancurkan pemberontakan Trunojoyo akhir tahun 1679. Sekutu Trunojoyo
yang bertahan paling akhir adalah Giri Kedaton. Pada bulan April 1680 serangan
besar-besaran terhadap Giri dilancarkan oleh VOC–Belanda.
Murid andalan Giri yang menjadi panglima para santri bernama Pangeran Singosari
gugur dalam peperangan.
Panembahan Ageng Giri ditangkap dan dihukum mati
menggunakan cambuk. Tidak hanya itu, anggota keluarganya juga dimusnahkan.
Sejak saat itu berakhirlah riwayat Giri Kedaton.
Daftar Para Penguasa
Berikut ini adalah daftar para pemimpin Giri Kedaton.
7.
Panembahan Mas Witana Sideng Rana
4. Kerajaan Pajang
Pajang terlihat sebagai kerajaan pertama yang muncul
di pedalaman Jawa setelah runtuhnya kerajaan Muslim di Pasisir
Menurut naskah babad, Andayaningrat gugur di tangan Sunan Ngudung
saat terjadinya perang antara Majapahit dan Demak. Ia kemudian digantikan oleh putranya, yang bernama
Raden Kebo Kenanga, bergelar Ki Ageng
Pengging. Sejak saat itu Pengging menjadi daerah bawahan Kerajaan Demak.
Beberapa tahun kemudian Ki Ageng
Pengging dihukum mati karena dituduh hendak memberontak terhadap Demak. Putranya yang
bergelar Jaka Tingkir setelah dewasa justru mengabdi ke Demak.
Prestasi Jaka Tingkir
yang cemerlang dalam ketentaraan membuat ia diangkat sebagai menantu Trenggana,
dan menjadi bupati Pajang bergelar Hadiwijaya.
Wilayah Pajang saat itu meliputi daerah Pengging (sekarang kira-kira mencakup Boyolali
dan Klaten),
Tingkir (daerah Salatiga),
Butuh, dan sekitarnya.
Sepeninggal Trenggana tahun 1546, Sunan Prawoto
naik takhta, namun kemudian tewas dibunuh sepupunya, yaitu Arya
Penangsang bupati Jipang tahun 1549. Setelah itu, Arya
Penangsang juga berusaha membunuh Hadiwijaya
namun gagal.
Dengan dukungan Ratu
Kalinyamat (bupati Jepara dan puteri Trenggana), Hadiwijaya
dan para pengikutnya berhasil mengalahkan Arya
Penangsang. Ia pun menjadi pewaris takhta Demak, yang ibu kotanya
dipindah ke Pajang.
Keruntuhan
Sepulang dari perang, Hadiwijaya jatuh sakit dan
meninggal dunia. Terjadi persaingan antara putra dan menantunya, yaitu Pangeran
Benawa dan Arya Pangiri sebagai raja selanjutnya. Arya Pangiri
didukung Panembahan Kudus berhasil naik takhta tahun 1583.
Pemerintahan Arya Pangiri
hanya disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap Mataram.
Kehidupan rakyat Pajang terabaikan. Hal itu membuat Pangeran
Benawa yang sudah tersingkir ke Jipang, merasa prihatin.
Pada tahun 1586 Pangeran
Benawa bersekutu dengan Sutawijaya
menyerbu Pajang. Meskipun pada tahun 1582 Sutawijaya
memerangi Hadiwijaya, namun Pangeran
Benawa tetap menganggapnya sebagai saudara tua.
Perang antara Pajang melawan Mataram
dan Jipang berakhir dengan kekalahan Arya Pangiri.
Ia dikembalikan ke negeri asalnya yaitu Demak. Pangeran
Benawa kemudian menjadi raja Pajang yang ketiga.
Pemerintahan Pangeran
Benawa berakhir tahun 1587. Tidak ada putra mahkota yang
menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan sebagai negeri bawahan Mataram.
Yang menjadi bupati di sana ialah Pangeran Gagak Baning, adik Sutawijaya.
Sutawijaya sendiri mendirikan Kerajaan
Mataram, di mana ia sebagai raja pertama bergelar Panembahan Senopati.
Daftar Raja Pajang
5. Kerajaaan Mataram Islam
Pendiri Kerajaan Mataram ialah Kyai Ageng Pamanahan.
Setelah meninggal tahun 1575 M, Pamanahan digantikan oleh anaknya bernama Sutawijaya.
Pada masa pemerintahan Sutawijaya, wilayah kekuasaan Mataram meliputi Jawa
Tengah, Jawa Timur, Cirebon dan sebagian Priangan.
Sutawijaya kemudian digantikan Mas Jolang (1511-1613
M). Pada masa pemerintahan Mas Jolang, Mataram Islam tidak mampu memperluas
wilayahnya karena disibukkan dengan usaha mengatasi para pemberontak.
Pengganti Mas Jolang ialah Raden Rangsang (1613-1645
M) yang bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo. Cita-cita perjuangan kedua
pendahulunya tetap dilanjutkan sejak tahun 1614 M, Sultan Agung mulai bergerak
menaklukkan kembali daerah di pesisir utara Jawa. Balatentara Mataram berhasil
menaklukkan Lumajang, Pasuruan, Kediri, Tuban, Pajang, Lasem, Madura, Surabaya
dan Sukadana (Kalimantan). Sedangkan di daerah pedalaman yang tidak mau tunduk
kepada kerajaan Mataram Islam, yaitu Madura, Ponorogo, Blora dan Bojonegoro.
Setelah Surabaya jatuh hampir seluruh Jawa dikuasainya hanya tinggal Cirebon,
Banten dan Batavia yang belum dikuasai. Pada tahun 1628 M dan 1629 M Mataram
menyerang Batavia, namun tidak berhasil karena kurangnya persiapan logistik.
Sultan Agung adalah seorang organisator, ahli politik, ahli filsafat dan ahli
sastra. Berikut ini adalah hasil karya Sultan Agung, yaitu :
a. Tahun 1833 M, Sultan Agung menciptakan Tarikh
Jawa Islam yang dimulai 1 Muharam 1043 H.
b. Mengarang buku ”sastra gending” yang
berisi ajaran filsafat mengenai kesucian jiwa.
c. Membuat buku undang-undang hukum pidana dan
perdata yang diberi nama ”surya alam”.
No comments:
Write comments