Friday, February 28, 2020

Perkembangan Kerajaan Islam di Nusantara part 5


1. Kesultanan Paser


Kesultanan Paser (yang sebelumnya bernama Kerajaan Sadurangas) adalah sebuah kerajaan yang berdiri pada tahun 1516 dan dipimpin oleh seorang wanita (Ratu I) yang dinamakan Putri Di Dalam Petung. Wilayah kekuasaan kerajaan Sadurangas meliputi Kabupaten Paser yang ada sekarang, ditambah dengan Kabupaten Penajam Paser Utara, Balikpapan dan Pamukan. Menurut perjanjian VOC-Belanda dengan Kesultanan Banjar, negeri Paser merupakan salah satu bekas negara dependensi (negara bagian) di dalam "negara Banjar Raya". Dalam tahun 1853 penduduk Kesultanan Paser 30.000 jiwa.

2. Kesultanan Banjar
Kesultanan Banjar atau Kesultanan Banjarmasin (berdiri 1520, masuk Islam 24 September 1526, dihapuskan Belanda 11 Juni 1860, pemerintahan darurat/pelarian berakhir 24 Januari 1905) adalah sebuah kesultanan wilayahnya saat ini termasuk ke dalam provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia. Kesultanan ini semula beribukota di Banjarmasin kemudian dipindahkan ke Martapura dan sekitarnya (kabupaten Banjar). Ketika beribukota di Martapura disebut juga Kerajaan Kayu Tangi.
Ketika ibukotanya masih di Banjarmasin, maka kesultanan ini disebut Kesultanan Banjarmasin. Kesultanan Banjar merupakan penerus dari Kerajaan Negara Daha yaitu kerajaan Hindu yang beribukota di kota Negara, sekarang merupakan ibukota kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan. Raja Banjar pertama sebagai perampas kekuasaan yang memindahkan pusat pemerintahan di Kampung Banjarmasih yang menggantikan pamannya raja Pangeran Tumenggung (Raden Panjang). Raja Banjar pertama sebagai perampas kekuasaan yang memindahkan pusat pemerintahan di Kampung Banjarmasih yang menggantikan pamannya raja Pangeran Tumenggung (Raden Panjang) adalah Sultan Suriansyah pada 1520-1546
3. Kesultanan Kota Waringin
Kerajaan Kotawaringin adalah sebuah kerajaan Islam (kepangeranan cabang Kesultanan Banjar) di wilayah yang menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat saat ini di Kalimantan Tengah yang menurut catatan istana al-Nursari (terletak di Kotawaringin Lama) didirikan pada tahun 1615 atau 1530, dan Belanda pertama kali melakukan kontrak dengan Kotawaringin pada 1637, tahun ini sering dianggap sebagai tahun berdirinya  sesuai dengan Hikayat Banjar dan Kotawaringin (Hikayat Banjar versi I) yang bagian terakhirnya saja ditulis tahun 1663 dan di antara isinya tentang berdirinya Kerajaan Kotawaringin pada masa Sultan Mustain Billah. Pada mulanya Kotawaringin merupakan keadipatian yang dipimpin oleh Dipati Ngganding. Menurut perjanjian VOC-Belanda dengan Kesultanan Banjar, negeri Kotawaringin merupakan salah satu negara dependensi (negara bagian) di dalam "negara Banjar Raya".
Kotawaringin merupakan nama yang disebutkan dalam Hikayat Banjar dan Kakawin Negarakretagama, seringpula disebut Kuta-Ringin, karena dalam bahasa Jawa, ringin berarti beringin.
Adipati dan Pangeran Ratu (Raja) Kotawaringin.
Ratu (Raja) yang pernah memerintah hingga masuknya penjajah Belanda dengan urutan sebagai berikut:
·                  Tongara Mandi
·                  Kiai Gede (Dipati Ngganding) - keponakan Tongara Mandi
·                  (1637-1650) Pangeran Dipati Anta-Kasuma bin Sultan Mustainbillah - mangkubumi Kiai Gede (Dipati Ngganding)
·                  (1650-1700) Pangeran Mas Adipati (anak) - mangkubumi Dipati Gading
·                  (1700-1720) Panembahan Kota Waringin (anak) - mangkubumi Dipati Gading
·                  (1720-1750) Pangeran Prabu/Panembahan Derut (anak) - mangkubumi Pangeran Dira
·                  (1750-1770) Pangeran Adipati Muda (anak) - mangkubumi Pangeran Cakra
·                  (1770-1785) Pangeran Panghulu (anak) - mangkubumi Pangeran Anom
·                  (1785-1792) Pangeran Ratu Bagawan (anak) - mangkubumi Pangeran Paku Negara
·                  (1792-1817) Pangeran Ratu Anom Kasuma Yudha (anak)
·                  (1817-1855) Pangeran Imanudin/Pangeran Ratu Anom (anak)
·                  (1855-1865) Pangeran Akhmad Hermansyah (anak)
·                  (1865-1904) Pangeran Ratu Anom Alamsyah I (anak)
·                  (1905-1913) Pangeran Ratu Sukma Negara (paman)
·                  (1913-1939) Pangeran Ratu Sukma Alamsyah (cucu)
·                  (1939-1948) Pangeran Kasuma Anom Alamsyah II (anak)
·                  Pangeran Muasyidin Syah
·                   (2010-sekarang) Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah (anak Pangeran Ratu Sukma Alamsyah)
4. Kesultanan Pagatan
Kerajaan Pagatan (1775-1908) adalah salah satu kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Tanah Kusan atau daerah aliran sungai Kusan, sekarang wilayah ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Wilayah Tanah Kusan bertetangga dengan wilayah kerajaan Tanah Bumbu (yang terdiri atas negeri-negeri: Batu Licin, Cantung, Buntar Laut, Bangkalaan, Tjingal, Manunggul, Sampanahan).
Penguasa Kerajaan Pagatan disebut Arung (bukan Sultan), Belanda menyebutnya de Aroeng van Pagattan. Permukiman Pagatan didirikan oleh Puana Dekke (La Dekke), seorang imigran suku Bugis atas seijin Sunan Nata Alam atau Panembahan Batuah dari Dinasti Tamjidullah I. Negeri Pagatan kemudian menjadi sekutu Sunan Nata Alam untuk menghabisi rival politiknya yaitu Sultan Amir bin Sultan Muhammadillah (keturunan Sultan Kuning) yang menuntut tahta Kesultanan Banjar dengan dukungan Arung Turawe (Gusti Kasim) beserta pasukan Bugis-Paser. Atas keberhasilan mengusir Sultan Amir dari Tanah Kusan, La Pangewa/Hasan Pangewa, pemimpin orang Bugis Pagatan, dilantik Sultan Banjar sebagai kapitan (raja) Pagatan yang pertama sekitar tahun 1784 dengan gelar Kapitan Laut Pulo.
Kerajaan ini semula merupakan sebagian dari wilayah Kesultanan Banjar selanjutnya menjadi bawahan Hindia Belanda, karena diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda dalam Traktat Karang Intan. Menurut Staatblaad tahun 1898 no. 178, wilayah kerajaan ini merupakan "leenplichtige landschappen" dalam Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe.
5. Kesultanan Sambas
Kesultanan Sambas adalah kesultanan yang terletak di wilayah pesisir utara Propinsi Kalimantan Barat atau wilayah barat laut Pulau Borneo (Kalimantan)dengan pusat pemerintahannya adalah di Kota Sambas sekarang. Kesultanan Sambas adalah penerus dari kerajaan-kerajaan Sambas sebelumnya. Kerajaan yang bernama Sambas di Pulau Borneo atau Kalimantan ini telah ada paling tidak sebelum abad ke-14 M. Pada masa itu Rajanya mempunyai gelaran "Nek" yaitu salah satunya bernama Nek Riuh. Setelah masa Nek Riuh, pada sekitar abad ke-15 M muncul pemerintahan Raja yang bernama Tan Unggal yang terkenal sangat kejam. Karena kekejamannya ini Raja Tan Unggal kemudian dikudeta oleh rakyat dan setelah itu selama puluhan tahun rakyat di wilayah Sungai Sambas ini tidak mau mengangkat Raja lagi. Pada masa kekosongan pemerintahan di wilayah Sungai Sambas inilah kemudian pada awal abad ke-16 M (1530 M) datang serombongan besar Bangsawan Jawa (sekitar lebih dari 500 orang) yang diperkirakan adalah Bangsawan Majapahit yang masih hindu melarikan diri dari Pulau Jawa (Jawa bagian timur) karena ditumpas oleh pasukan Kesultanan Demak dibawah Sultan Demak ke-3 yaitu Sultan Trenggono.
Pada saat itu di pesisir dan tengah wilayah Sungai Sambas ini telah sejak ratusan tahun didiami oleh orang-orang Melayu yang telah mengalami asimilasi dengan orang-orang Dayak pesisir dimana karena saat itu wilayah ini sedang tidak ber-Raja (sepeninggal Raja Tan Unggal) maka kedatangan rombongan Bangsawan Majapahit ini berjalan mulus tanpa menimbulkan konflik. Rombongan Bangsawan Majapahit ini kemudian menetap di hulu Sungai Sambas yaitu di suatu tempat yang sekarang disebut dengan nama "Kota Lama". Setelah sekitar lebih dari 10 tahun menetap di "Kota Lama" dan melihat keadaan wilayah Sungai Sambas ini aman dan kondusif maka kemudian para Bangsawan Majapahit ini mendirikan sebuah Panembahan / Kerajaan hindu yang kemudian disebut dengan nama "Panembahan Sambas". Raja Panembahan Sambas ini bergelar "Ratu" (Raja Laki-laki)dimana Raja yang pertama tidak diketahui namanya yang kemudian setelah wafat digantikan oleh anaknya yang bergelar Ratu Timbang Paseban, setelah Ratu Timbang Paseban wafat lalu digantikan oleh Adindanya yang bergelar Ratu Sapudak. Pada masa Ratu Sapudak inilah untuk pertama kalinya diadakan kerjasama perdagangan antara
Panembahan Sambas ini dengan VOC yaitu pada tahun 1609 M. Pada masa Ratu Sapudak inilah rombongan Sultan Tengah (Sultan Sarawak ke-1) bin Sultan Muhammad Hasan (Sultan Brunei ke-9) datang dari Kesultanan Sukadana ke wilayah Sungai Sambas dan kemudian menetap di wilayah Sungai Sambas ini (daerah Kembayat Sri Negara. Anak laki-laki sulung Sultan Tangah yang bernama Sulaiman kemudian dinikahkan dengan anak bungsu Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu sehingga nama Sulaiman kemudian berubah menjadi Raden Sulaiman. Raden Sulaiman inilah yang kemudian setelah keruntuhan Panembahan Sambas di Kota Lama mendirikan Kerajaan baru yaitu Kesultanan Sambas dengan Raden Sulaiman menjadi Sultan Sambas pertama bergelar Sultan Muhammad Shafiuddin I yaitu pada tahun 1671 M.
6. Kesultanan Kartanegara
Kesultanan Kutai atau lebih lengkap disebut Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura (Martapura) merupakan kesultanan bercorak Islam yang berdiri pada tahun 1300 oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti di Kutai Lama dan berakhir pada 1960. Kemudian pada tahun 2001 kembali eksis di Kalimantan Timur setelah dihidupkan lagi oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai upaya untuk melestarikan budaya dan adat Kutai Keraton.
Dihidupkannya kembali Kesultanan Kutai ditandai dengan dinobatkannya sang pewaris tahta yakni putera mahkota Aji Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat menjadi Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan gelar H. Adji Mohamad Salehoeddin II pada tanggal 22 September 2001.
7. Kesultanan Berau
Kesultanan Berau adalah sebuah kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Kabupaten Berau sekarang ini. Kerajaan ini berdiri pada abad ke-14 dengan raja pertama yang memerintah bernama Baddit Dipattung dengan gelar Aji Raden Suryanata Kesuma dan istrinya bernama Baddit Kurindan dengan gelar Aji Permaisuri. Pusat pemerintahannya berada di Sungai Lati, Kecamatan Gunung Tabur. Sejarahnya kemudian pada keturunan ke-13, Kesultanan Berau terpisah menjadi dua yaitu Kesultanan Gunung Tabur dan Kesultanan Sambaliung. Sebelumnya daerah-daerah milik Berau yang telah memisahkan diri dan berdiri sendiri adalah Bulungan dan Tidung (kemudian ditaklukan Sultan Sulu). Negara Berau kuno meliputi kawasan pesisir dari perbatasan mandala Kerajaan Brunei di Kinabatangan (kini termasuk Sabah) hingga Tanjung Mangkaliat di perbatasan dengan mandala Kerajaan Kutai. Salah satu dari lima daerah bagian Berau adalah Nagri Marancang. Kepala Nagri atau Orang tuanya bernama Rangga Si Kannik Saludai. Pengarappan atau Punggawanya Bernama Harimau Jantan, Lambu Tunggal dan Kuda Sambarani. Wilayah kekuasaannya dari Bulalung Karantigau, Kubuan Pindda, Mangkapadi, Bulungan Selimbatu, Sekatak Buji, Sekata Jelanjang, Betayu, Sesayap, Simangarris, Tawau, Segarung, Talluk Silam dan Kinabatangan berbatasan dengan Brunei. Menurut perjanjian VOC-Belanda dengan Kesultanan Banjar, "negara Berau" (yang terdiri atas Bulungan, Gunung Tabur dan Tanjung/Sambaliung) merupakan salah satu bekas negara dependensi/negara bagian di dalam "negara Banjar Raya".Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, wilayah ini termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling yang beribukota di Banjarmasin berdasarkan Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849



No comments:
Write comments