1.
Kerajaan Perlak
Kesultanan Perlak merupakan kerajaan Islam pertama di
Indonesia yang berdiri pada tanggal 1 Muharam 225 H atau 804 M. Kesultanan ini
terletak di wilayah Perlak, Aceh Timur, Nangroe Aceh Darussalam, Indonesia.
a.
Sejarah Masuknya Islam
Kesultanan Perlak berdiri pada
tahun 840 dan berakhir pada tahun 1292. Proses berdirinya tidak terlepas dari
pengaruh Islam di wilayah Sumatera. Sebelum Kesultanan Perlak berdiri, di
wilayah Perlak sebenarnya sudah berdiri Negeri Perlak yang raja dan rakyatnya
merupakan keturunan dari Maharaja Pho He La (Meurah Perlak Syahir Nuwi) serta
keturunan dari pasukan-pasukan pengikutnya.
Pada tahun 840 ini, rombongan
berjumlah 100 orang dari Timur Tengah menuju pantai Sumatera yang dipimpin oleh
Nakhoda Khilafah. Rombongan ini bertujuan untuk berdagang sekaligus membawa
sejumlah da'i yang bertugas untuk membawa dan menyebarkan Islam ke Perlak.
Dalam waktu kurang dari setengah abad, raja dan rakyat Perlak meninggalkan
agama lama mereka (Hindu dan Buddha), yang kemudian secara sukarela berbondong-bondong
memeluk Islam.
Perkembangan selanjutnya
menunjukkan bahwa salah seorang anak buah dari Nakhoda Khalifah, Ali bin
Muhammad bin Ja'far Shadiq dikawinkan dengan Makhdum Tansyuri, yang merupakan
adik dari Syahir Nuwi, Raja Negeri Perlak yang berketurunan Parsi. Dari buah
perkawinan mereka lahirlah Sultan
Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Aziz Shah, yang menjadi sultan pertama di
Kesultanan Perlak sejak tahun 840. Ibu kotanya Perlak yang semula bernama
Bandar Perlak kemudian diubah menjadi Bandar Khalifah sebagai bentuk perhargaan
terhadap jasa Nakhoda Khalifah.
b.
Masa Permusuhan Sunni-Syiah
Sejarah keislaman di
Kesultanan Perlak tidak luput dari persaingan antara kelompok Sunni dan Syiah.
Perebutan kekuasaan antara dua kelompok Muslim ini menyebabkan terjadinya
perang saudara dan pertumpahan darah. Silih berganti kelompok yang menang
mengambil alih kekuasaan dari tangan pesaingnya.
Aliran Syi'ah datang ke
Indonesia melalui para pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia. Mereka masuk
pertama kali melalui Kesultanan Perlak dengan dukungan penuh dari dinasti
Fatimiah di Mesir. Ketika dinasti ini runtuh pada tahun 1268, hubungan antara
kelompok Syi'ah di pantai Sumatera dengan kelompok Syi'ah di Mesir mulai
terputus. Kondisi ini menyebabkan konstelasi politik Mesir berubah haluan.
Dinasti Mamaluk memerintahkan pasukan yang dipimpin oleh Syaikh Ismail untuk
pergi ke pantai timur Sumatra dengan tujuan utamanya adalah melenyapkan
pengikut Syi'ah di Kesultanan Perlak dan Kerajaan Samudera Pasai.
Sebagai informasi tambahan
bahwa raja pertama Kerajaan Samudera Pasai, Marah Silu dengan gelar Malikul
Saleh berpindah agama, yang awalnya beragama Hindu kemudian memeluk Islam
aliran Syiah. Oleh karena dapat dibujuk oleh Syaikh Ismail, Marah Silu kemudian
menganut paham Syafii. Dua pengikut Marah Silu, Seri Kaya dan Bawa Kaya juga
menganut paham Syafii, sehingga nama mereka berubah menjadi Sidi Ali Chiatuddin
dan Sidi Ali Hasanuddin. Ketika berkuasa Marah Silu dikenal sebagai raja yang
sangat anti terhadap pemikiran dan pengikut Syi'ah.
Aliran Sunni mulai masuk ke
Kesultanan Perlak, yaitu pada masa pemerintahan sultan ke-3, Sultan Alaiddin
Syed Maulana Abbas Shah. Setelah ia meninggal pada tahun 363 H (913 M), terjadi
perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni, yang menyebabkan kesultanan dalam
kondisi tanpa pemimpin. Pada tahun 302 H (915 M), kelompok Syiah memenangkan
perang. Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah kemudian
memegang kekuasaan kesultanan sebagai sultan ke-4 (915-918). Ketika pemerintahannya
berakhir, terjadi pergolakan antara kaum Syiah dan Sunni, hanya saja untuk kali
ini justru dimenangkan oleh kelompok Sunni.
Kurun waktu antara tahun 918
hingga tahun 956 relatif tidak terjadi gejolak yang berarti. Hanya saja, pada
tahun 362 H (956 M), setelah sultan ke-7, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik
Shah Johan Berdaulat meninggal, terjadi lagi pergolakan antara kelompok Syiah
dan Sunni selama kurang lebih empat tahun. Bedanya, pergolakan kali ini
diakhiri dengan adanya itikad perdamaian dari keduanya. Kesultanan kemudian
dibagi menjadi dua bagian. Pertama, Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan
Alaiddin Syed Maulana Shah (986 – 988). Kedua, Perlak Pedalaman (Sunni)
dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 –
1023).
Kedua kepemimpinan tersebut
bersatu kembali ketika salah satu dari pemimpin kedua wilayah tersebut, yaitu
Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal. Ia meninggal ketika Perlak
berhasil dikalahkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Kondisi perang inilah yang
membangkitkan semangat bersatunya kembali kepemimpinan dalam Kesultanan Perlak.
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat, yang awalnya hanya
menguasai Perlak Pedalaman kemudian ditetapkan sebagai Sultan ke-8 pada
Kesultanan Perlak. Ia melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun
1006. Sultan ke-8 sebenarnya berpaham aliran Sunni, namun sayangnya belum
ditemukan data yang menyebutkan apakah terjadi lagi pergolakan antar kedua
aliran tersebut.
Silsilah
Sebelum berdirinya Kesultanan
Perlak, di wilayah Negeri Perlak sudah ada rajanya, yaitu Meurah Perlak Syahir
Nuwi. Namun, data tentang raja-raja Negeri Perlak secara lengkap belum
ditemukan. Sedangkan daftar nama sultan yang pernah berkuasa di Kesultanan
Pelak adalah sebagai berikut:
1)
Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah (840-864)
2)
Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Rahim Shah (864-888)
3)
Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah (888-913)
4)
Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah (915-918)
5)
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Shah Johan
Berdaulat (928-932)
6)
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah Johan
Berdaulat (932-956)
7)
Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat
(956-983)
8)
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan
Berdaulat (986-1023)
9)
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat
(1023-1059)
10)
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Shah Johan Berdaulat
(1059-1078)
11)
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Shah Johan
Berdaulat (1078-1109)
12)
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Shah Johan Berdaulat
(1109-1135)
13)
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat
(1135-1160)
14)
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Shah Johan Berdaulat
(1160-1173)
15)
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Shah Johan
Berdaulat
(1173-1200)
16)
Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Jalil Shah Johan Berdaulat
(1200-1230)
17)
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan
Berdaulat (1230-1267)
18)
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat
(1267-1292)
Catatan :
Sultan-sultan di atas dibagi menurut
dua dinasti, yaitu dinasti Syed Maulana Abdul Azis Shah dan dinasti Johan Berdaulat, yang merupakan keturunan dari
Meurah Perlak asli (Syahir Nuwi).
c.
Periode Pemerintahan
Sultan Perlak ke-17, Sultan
Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat, melakukan politik
persahabatan dengan negeri-negeri tetangga. Ia menikahkan dua orang puterinya,
yaitu: Putri Ratna Kamala dinikahkan dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan
Muhammad Shah (Parameswara) dan Putri Ganggang dinikahkan dengan Raja Kerajaan
Samudera Pasai, al-Malik al-Saleh.
Kesultanan
Perlak berakhir setelah Sultan yang ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul
Aziz Johan Berdaulat meninggal pada tahun 1292. Kesultanan Perlak kemudian
menyatu dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah kekuasaan sultan Samudera Pasai
yang memerintah pada saat itu, Sultan Muhammad Malik Al Zahir yang juga
merupakan putera dari al-Malik al-Saleh.
d.
Wilayah Kekuasaan
Sebelum bersatu dengan
Kerajaan Samudera Pasai, wilayah kekuasaan Kesultanan Perlak hanya mencakup
kawasan sekitar Perlak saja. Saat ini, kesultanan ini terletak di pesisir timur
daerah aceh yang tepatnya berada di wilayah Perlak, Aceh Timur, Nangroe Aceh
Darussalam, Indonesia.
e.
Struktur Pemerintahan
Kehidupan Sosial-Budaya
Perlak dikenal dengan kekayaan
hasil alamnya yang didukung dengan letaknya yang sangat strategis. Apalagi,
Perlak sangat dikenal sebagai penghasil kayu perlak, yaitu jenis kayu yang
sangat bagus untuk membuat kapal. Kondisi semacam inilah yang membuat para
pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia tertarik untuk datang ke daerah ini.
Masuknya para pedagang tersebut juga sekaligus menyebarkan ajaran Islam di
kawasan ini. Kedatangan mereka berpengaruh terhadap kehidupan sosio-budaya
masyarakat Perlak pada saat itu. Sebab, ketika itu masyarakat Perlak mulai
diperkenalkan tentang bagaimana caranya berdagang. Pada awal abad ke-8, Perlak
dikenal sebagai pelabuhan niaga yang sangat maju.
Model pernikahan percampuran
mulai terjadi di daerah ini sebagai konsekuensi dari membaurnya antara
masyarakat pribumi dengan masyarakat pendatang. Kelompok pendatang bermaksud
menyebarluaskan misi Islamisasi dengan cara menikahi wanita-wanita setempat.
Sebenarnya tidak hanya itu saja, pernikahan campuran juga dimaksudkan untuk
mengembangkan sayap perdagangan dari pihak pendatang di daerah ini.
2.
Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan Samudra Pasai
terletak di sebelah utara Perlak di daerah Lhokseumawe (sekarang pantai timur
Aceh). Kerajaan Samudra Pasai merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara dan
berdiri pada abad ke- 13 M. Wilayahnya strategis karena menghadap Selat Malaka.
Kota Samudera (agak jauh dari
laut) dan Pasai (kota pesisir) yang masyarakatnya sudah masuk Islam tersebut
disatukan oleh Marah Sile yang masuk Islam berkat pertemuannya dengan Syekh
Ismail, seorang utusan Syarif Mekah. Merah Selu kemudian dinobatkan menjadi
sultan (raja) dengan gelar Sultan Malik al Saleh.
Setelah resmi menjadi kerajaan
Islam, Samudera Pasai berkembang pesat menjadi pusat perdagangan dan pusat
studi Islam yang ramai. Pedagang dari India, Benggala, Gujarat, Arab, Cina
serta daerah di sekitarnya banyak berdatangan di Samudera Pasai.
Samudera Pasai setelah
pertahanannya kuat segera meluaskan kekuasaan ke daerah pedalaman meliputi
Tamiang, Balek Bimba, Samerlangga, Beruana, Simpag, Buloh Telang, Benua,
Samudera, Perlak, Hambu Aer, Rama Candhi, Tukas, Pekan, dan Pasai.
Ada beberapa raja yang pernah memerintah Samudera Pasai,
antara lain:
1) Sultan Malik al Saleh ( 1290 - 1297)
2) Muhammad Malik az Zahir ( 1297 – 1326 )
3) Mahmud Malik az Zahir ( 1326 – 1345)
4) Mansur Malik az Zahir ( …. – 1346 )
5) Ahmad Malik az Zahir ( 1346 – 1383 )
6) Zain al Abidin Malik az Zahir ( 1383 –
1405 )
7) Nahrasiyah ( 1405 – 1412 )
8) Sallah ad Din ( 1412 - … )
9) Abu
Zaid Malik az Zahir ( … - 1455 )
10) Mahmud
Malik az Zahir ( 1455 – 1477 )
11) Zain
al Abidin ( 1477 – 1500 )
12) Abdullah Malik az Zahir ( 1501 – 1513 )
13) Zain
al Abidin ( 1513 – 1524 )
Kehidupan
politik yang terjadi di Kerajaan Samudera Pasai dapat dilihat pada masa
pemerintahan raja-raja berikut ini:
1.
Sultan Malik al Saleh
Sultan Malik al Saleh
merupakan raja pertama di Kerajaan Samudera Pasai. Dalam menjalankan
pemerintahannya, Beliau berhasil menyatukan dua kota besar di Kerajaan Samudera
Pasai, yakni kota Samudera dan kota Pasai dan menjadikan masyarakatnya sebagai
umat Islam. Setelah beliau mangkat pada tahun 1297, jabatan beliau diteruskan
oleh putranya, Sultan Malik al Thahir. Lalu takhta kerajaan dilanjutkan lagi
oleh kedua cucunya yang bernama Malik al Mahmud dan Malik al Mansur.
2.
Malik al Mahmud dan Malik al
Mansur
Dalam menjalankan
pemerintahannya, Malik al Mahmud dan Malik al Mansur pernah memindahkan ibu
kota kerajaan ke Lhok Seumawe dengan dibantu oleh kedua perdana menterinya.
3.
Sultan Ahmad Perumadal Perumal
Pada masa pemerintahan Sultan
Ahmad Perumadal Perumal inilah, Kerajaan Samudera Pasai pertama kalinya
menjalin hubungan dengan Kerajaan / Kesultanan lain, yakni Kesultanan Delhi
(India).
a.
Aspek Kehidupan Ekonomi dan
Sosial
Kehidupan
ekonomi dan sosial masyarakat Samudera Pasai dititikberatkan pada kegiatan
perdagangan, pelayaran dan penyebaran agama. Hal ini dikarenakan, banyaknya
pedagang asing yang sering singgah bahkan menetap di daerah Samudera Pasai,
yakni Pelabuhan Malaka. Mereka yang datang dari berbagai negara seperti Persia,
Arab, dan Gujarat kemudian bergaul dengan penduduk setempat dan menyebarkan
agama serta kebudayaannya masing-masing. Dengan demikian, kehidupan sosial dan
ekonomi masyarakat Samudera Pasai bertambah maju, begitupun di bidang
perdagangan, pelayaran dan keagamannya.
Keberadaan
agama Islam di Samdera Pasai sangat dipengaruhi oleh perkembangan di Timur
Tengah. Hal itu terbukti pada saat perubahan aliran Syi’ah menjadi Syafi’i di Samudera Pasai.
Perubahan aliran tersebut ternyata mengikuti perubahan di Mesir. Pada saat itu,
di Mesir sedang terjadi pergantian kekuasaan dari Dinasti Fatimah yang
beraliran Syi’ah kepada Dinasti Mameluk yang beraliran Syafi’i.
Aliran
Syafi’i dalam perkembangannya di samudera Pasai menyesuaikan dengan adat
istiadat setempat. Oleh karena itu kehidupan sosial masyarakatnya merupakan
campuran Islam dengan adat istiadat setempat.
b.
Kemunduran Kerajaan Samudera
Pasai
Pada waktu Samudera Pasai berkembang, Majapahit juga
sedang mengembangkan politik ekspansi. Majapahit setelah meyakini adanya
hubungan antara Samudera Pasai dan Delhi yang membahayakan kedudukannya, maka pada
tahun 1350 M segera menyerang Samudera Pasai. Akibatnya, Samudera Pasai
mengalami kemunduran. Pusat perdagangan Samudera Pasai pindah ke pulau Bintan
dan Aceh Utara (Banda Aceh). Samudera Pasai runtuh ditaklukkan Aceh.
3.
Kerajaan
Aceh
Pendiri kerajaan ini ialah Ali Mughayat Syah
(1513-1528 M). Pada masa pemerintahannya, Aceh menyatukan kerajaan-kerajaan
disekitarnya, seperti Kesultanan Samudra Pasai, Perlak, Lamuri, Benua Tamiang
dan Indera Jaya. Raja berikutnya Sultan Alauddin Riayat Syah (1537-1568
M). Dalam masa kekuasaannya, Aceh terus berusaha mengusir Portugis yang
berkeinginan menguasai wilayahnya dan menyerang Johor yang bersekutu dengan
Portugis. Usaha membangun kebesaran Aceh lainnya adalah menjalin hubungan
dengan Turki, Persia, India dan Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.
Kerajaan
Aceh mencapai kejayaannya dibawah Pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636
M). Pada masa kekuasaanya, wilayah Aceh semakin luas yaitu dari pesisir barat
samudra sampai Bengkulu, pesisir timur Sumatera sampai Siale, Johar, Pahang dan
Pattani.
Sultan
Iskandar Muda kemudian digantikan oleh Sultan Iskandar Thani (1636-1641
M). Pada masa kekuasaannya, ia lebih memperhatikan pengembangan dalam negeri
ketimbang politik ekspansi, berkembangnya studi Islam masa pemerintahan
Sultan Iskandar Thani karena didukung oleh kehadiran Nuruddin ar Raniri (seorang
ahli tasawuf yang berasal dari Gujarat, India. Nuruddin ar Raniri pernah
singgah di Aceh sekitar tahun 1637 – 1644 M. Nuruddin ar Raniri banyak menulis
buku tasawuf. Hasil karyanya yang terkenal adalah Bustanus Salatin yang berisi
sejarah Aceh). Setelah Sultan Iskandar Thani wafat, kerajaan Aceh mulai
mengalami kemunduran.
4.
Kerajaan Malaka
a.
Sejarah
Kerajaan
Malaka didirikan oleh Parameswara antara tahun 1380-1403 M. Parameswara berasal
dari Sriwijaya, dan merupakan putra Raja Sam Agi. Saat itu, ia masih menganut
agama Hindu. Ia melarikan diri ke Malaka karena kerajaannya di Sumatera runtuh
akibat diserang Majapahit. Pada saat Malaka didirikan, di situ terdapat
penduduk asli dari Suku Laut yang hidup sebagai nelayan. Mereka berjumlah lebih
kurang tiga puluh keluarga. Raja dan pengikutnya adalah rombongan pendatang
yang memiliki tingkat kebudayaan yang jauh lebih tinggi, karena itu, mereka
berhasil mempengaruhi masyarakat asli. Kemudian, bersama penduduk asli
tersebut, rombongan pendatang mengubah Malaka menjadi sebuah kota yang ramai.
Selain menjadikan kota tersebut sebagai pusat perdagangan, rombongan pendatang
juga mengajak penduduk asli menanam tanaman yang belum pernah mereka kenal
sebelumnya, seperti tebu, pisang, dan rempah-rempah.
Rombongan
pendatang juga telah menemukan biji-biji timah di daratan. Dalam
perkembangannya, kemudian terjalin hubungan perdagangan yang ramai dengan
daratan Sumatera. Salah satu komoditas penting yang diimpor Malaka dari
Sumatera saat itu adalah beras. Malaka amat bergantung pada Sumatera dalam memenuhi
kebutuhan beras ini, karena persawahan dan perladangan tidak dapat dikembangkan
di Malaka. Hal ini kemungkinan disebabkan teknik bersawah yang belum mereka
pahami, atau mungkin karena perhatian mereka lebih tercurah pada sektor
perdagangan, dengan posisi geografis strategis yang mereka miliki.
Berkaitan
dengan asal usul nama Malaka, bisa dirunut dari kisah berikut. Menurut Sejarah
Melayu (Malay Annals) yang ditulis Tun Sri Lanang pada tahun 1565, Parameswara
melarikan diri dari Tumasik, karena diserang oleh Siam. Dalam pelarian
tersebut, ia sampai ke Muar, tetapi ia diganggu biawak yang tidak terkira
banyaknya. Kemudian ia pindah ke Burok dan mencoba untuk bertahan disitu, tapi
gagal. Kemudian Parameswara berpindah ke Sening Ujong hingga kemudian sampai di
Sungai Bertam, sebuah tempat yang terletak di pesisir pantai. Orang-orang
Seletar yang mendiami kawasan tersebut kemudian meminta Parameswara menjadi
raja. Suatu ketika, ia pergi berburu. Tak disangka, dalam perburuan tersebut,
ia melihat salah satu anjing buruannya ditendang oleh seekor pelanduk. Ia
sangat terkesan dengan keberanian pelanduk tersebut. Saat itu, ia sedang
berteduh di bawah pohon Malaka. Maka, kawasan tersebut kemudian ia namakan
Malaka.
Dalam
versi lain, dikatakan bahwa sebenarnya nama Malaka berasal dari bahasa Arab
Malqa, artinya tempat bertemu. Disebut demikian, karena di tempat inilah para
pedagang dari berbagai negeri bertemu dan melakukan transaksi niaga.
Demikianlah, entah versi mana yang benar, atau boleh jadi, ada versi lain yang
berkembang di masyarakat.
b.
Politik Negara
Dalam
menjalankan dan menyelenggarakan politik negara, ternyata para sultan menganut
paham politik hidup berdampingan secara damai (co-existence policy) yang
dijalankan secara efektif. Politik hidup berdampingan secara damai dilakukan
melalui hubungan diplomatik dan ikatan perkawinan. Politik ini dilakukan untuk
menjaga keamanan internal dan eksternal Malaka. Dua kerajaan besar pada waktu
itu yang harus diwaspadai adalah Cina dan Majapahit. Maka, Malaka kemudian
menjalin hubungan damai dengan kedua kerajaan besar ini. Sebagai tindak lanjut
dari politik negara tersebut, Parameswara kemudian menikah dengan salah seorang
putri Majapahit.
Sultan-sultan
yang memerintah setelah Prameswara (Muhammad Iskandar Syah)) tetap menjalankan
politik bertetangga baik tersebut. Sebagai bukti, Sultan Mansyur Syah
(1459—1477) yang memerintah pada masa awal puncak kejayaan Kerajaan Malaka juga
menikahi seorang putri Majapahit sebagai permaisurinya. Di samping itu,
hubungan baik dengan Cina tetap dijaga dengan saling mengirim utusan. Pada
tahun 1405 seorang duta Cina Ceng Ho datang ke Malaka untuk mempertegas kembali
persahabatan Cina dengan Malaka. Dengan demikian, kerajaan-kerajaan lain tidak
berani menyerang Malaka.
Pada
tahun 1411, Raja Malaka balas berkunjung ke Cina beserta istri, putra, dan
menterinya. Seluruh rombongan tersebut berjumlah 540 orang. Sesampainya di
Cina, Raja Malaka beserta rombongannya disambut secara besar-besaran. Ini
merupakan pertanda bahwa, hubungan antara kedua negeri tersebut terjalin dengan
baik. Saat akan kembali ke Malaka, Raja Muhammad Iskandar Syah mendapat hadiah
dari Kaisar Cina, antara lain ikat pinggang bertatahkan mutu manikam, kuda
beserta sadel-sadelnya, seratus ons emas dan perak, 400.000 kwan uang kertas,
2600 untai uang tembaga, 300 helai kain khasa sutra, 1000 helai sutra tulen,
dan 2 helai sutra berbunga emas. Dari hadiah-hadiah tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa, dalam pandangan Cina, Malaka adalah kerajaan besar dan
diperhitungkan.
Di
masa Sultan Mansur Syah, juga terjadi perkawinan antara Hang Li Po, putri
Maharaja Yung Lo dari dinasti Ming, dengan Sultan Mansur Shah. Dalam prosesi
perkawinan ini, Sultan Mansur Shah mengirim Tun Perpateh Puteh dengan
serombongan pengiring ke negeri China untuk menjemput dan membawa Hang Li Po ke
Malaka. Rombonga ini tiba di Malaka pada tahun 1458 dengan 500 orang pengiring.
Demikianlah,
Malaka terus berusaha menjalankan politik damai dengan kerajaan-kerajaan besar.
Dalam melaksanakan politik bertetangga yang baik ini, peran Laksamana Malaka
Hang Tuah sangat besar. Laksamana yang kebesaran namanya dapat disamakan dengan
Gajah Mada atau Adityawarman ini adalah tangan kanan Sultan Malaka, dan sering
dikirim ke luar negeri mengemban tugas kerajaan. Ia menguasai bahasa Keling,
Siam dan Cina.
c.
Hang Tuah
Hang
Tuah lahir di Sungai Duyung Singkep. Ayahnya bernama Hang Machmud dan ibunya
bernama Dang Merdu. Kedua orang tuanya adalah rakyat biasa yang hidup sebagai
petani dan penangkap ikan.
Keluarga
Hang Tuah kemudian pindah ke Pulau Bintan. Di sinilah ia dibesarkan. Dia
berguru di Bukit Lengkuas, Bintan Timur. Pada usia yang masih muda, Hang Tuah
sudah menunjukkan kepahlawanannya di lautan. Bersama empat orang kawan
seperguruannya, yaitu Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiyu,
mereka berhasil menghancurkan perahu-perahu bajak laut di sekitar perairan dan
selat-selat di Kepulauan Riau, sekalipun musuh mereka jauh lebih kuat.
Karena
kepahlawanan Hang Tuah dan kawan-kawannya tersebut, maka Sultan Kerajaan Malaka
mengangkat mereka sebagai prajurit kerajaan. Hang Tuah sendiri kemudian
diangkat menjadi Laksamana Panglima Angkatan Laut Kerajaan Malaka. Sedangkan
empat orang kawannya tersebut di atas, kelak menjadi prajurit Kerajaan Malaka yang
tangguh.
Dalam
pengabdiannya demi kebesaran Malaka, Laksamana Hang Tuah dikenal memiliki
semboyan berikut.
1) Esa hilang dua terbilang
2) Tak Melayu hilang di bumi.
3) Tuah sakti hamba negeri.
Hingga
saat ini, orang Melayu masih mengagungkan Hang Tuah, dan keberadaanya hampir
menjadi mitos. Namun demikian, Hang Tuah bukanlah seorang tokoh gaib. Dia
meninggal di Malaka dan dimakamkan di tempat asalnya, Sungai Duyung di Singkep.
d. Malaka
Sebagai Pusat Penyebaran Agama Islam
Sebelum
muncul dan tersebarnya Islam di Semenanjung Arabia, para pedagang Arab telah
lama mengadakan hubungan dagang di sepanjang jalan perdagangan antara Laut
Merah dengan Negeri Cina. Berkembangnya agama Islam semakin memberikan dorongan
pada perkembangan perniagaan Arab, sehingga jumlah kapal maupun kegiatan
perdagangan mereka di kawasan timur semakin besar.
Pada
abad VIII, para pedagang Arab sudah banyak dijumpai di pelabuhan Negeri Cina.
Diceritakan, pada tahun 758 M, Kanton merupakan salah satu tempat tinggal para
pedagang Arab. Pada abad IX, di setiap pelabuhan yang terdapat di sepanjang
rute perdagangan ke Cina, hampir dapat dipastikan ditemukan sekelompok kecil
pedagang Islam. Pada abad XI, mereka juga telah tinggal di Campa dan menikah
dengan penduduk asli, sehingga jumlah pemeluk Islam di tempat itu semakin
banyak. Namun, rupanya mereka belum aktif berasimilasi dengan kaum pribumi
sehingga penyiaran agama Islam tidak mengalami kemajuan.
Sebagai
salah satu bandar ramai di kawasan timur, Malaka juga ramai dikunjungi oleh
para pedagang Islam. Lambat laun, agama ini mulai menyebar di Malaka. Dalam
perkembangannya, raja pertama Malaka, yaitu Prameswara akhirnya masuk Islam
pada tahun 1414 M. Dengan masuknya raja ke dalam agama Islam, maka Islam
kemudian menjadi agama resmi di Kerajaan Malaka, sehingga banyak rakyatnya yang
ikut masuk Islam.
Selanjutnya,
Malaka berkembang menjadi pusat perkembangan agama Islam di Asia Tenggara,
hingga mencapai puncak kejayaan di masa pemeritahan Sultan Mansyur Syah
(1459—1477). Kebesaran Malaka ini berjalan seiring dengan perkembangan agama
Islam. Negeri-negeri yang berada di bawah taklukan Malaka banyak yang memeluk
agama Islam. Untuk mempercepat proses penyebaran Islam, maka dilakukan
perkawinan antarkeluarga.
Malaka
juga banyak memiliki tentara bayaran yang berasal dari Jawa. Selama tinggal di
Malaka, para tentara ini akhirnya memeluk Islam. Ketika mereka kembali ke Jawa,
secara tidak langsung, mereka telah membantu proses penyeberan Islam di tanah
Jawa. Dari Malaka, Islam kemudian tersebar hingga Jawa, Kalimantan Barat,
Brunei, Sulu dan Mindanau (Filipina Selatan).
Malaka
runtuh akibat serangan Portugis pada 24 Agustus 1511, yang dipimpin oleh
Alfonso de Albuquerque. Sejak saat itu, para keluarga kerajaan menyingkir ke
negeri lain.
Silsilah
Raja/Sultan yang memerintah di Malaka adalah sebagai berikut:
1. Permaisura yang bergelar Muhammad Iskandar Syah (1380—1424)
2. Sri Maharaja (1424—1444)
3. Sri Prameswara Dewa Syah (1444—1445)
4. Sultan Muzaffar Syah (1445—1459)
5. Sultan Mansur Syah (1459—1477)
6. Sultan Alauddin Riayat Syah (1477—1488)
7. Sultan Mahmud Syah (1488—1551)
Periode Pemerintahan
Setelah
Parameswara masuk Islam, ia mengubah namanya menjadi Muhammad Iskandar Syah
pada tahun 1406, dan menjadi Sultan Malaka I. Kemudian, ia kawin dengan putri
Sultan Zainal Abidin dari Pasai. Posisi Malaka yang sangat strategis
menyebabkannya cepat berkembang dan menjadi pelabuhan yang ramai. Akhir
kesultanan Malaka terjadi ketika wilayah ini direbut oleh Portugis yang
dipimpin oleh Alfonso d’albuquerque pada tahun 1511. Saat itu, yang berkuasa di
Malaka adalah Sultan Mahmud Syah.
Usia
Malaka ternyata cukup pendek, hanya satu setengah abad. Sebenarnya, pada tahun
1512, Sultan Mahmud Syah yang dibantu Dipati Unus menyerang Malaka, namun gagal
merebut kembali wilayah ini dari Portugis. Sejarah Melayu tidak berhenti sampai
di sini. Sultan Melayu segera memindahkan pemerintahannya ke Muara, kemudian ke
Pahang, Bintan Riau, Kampar, kemudian kembali ke Johor dan terakhir kembali ke
Bintan. Begitulah, dari dahulu bangsa Melayu ini tidak dapat dipisahkan.
Kolonialisme Baratlah yang memecah belah persatuan dan kesatuan Melayu.
Wilayah Kekuasaan.
Dalam masa kejayaannya, Malaka mempunyai kontrol atas daerah-daerah
berikut:
1. Semenanjung Tanah Melayu (Patani, Ligor, Kelantan, Trenggano, dan
sebagainya).
2. Daerah Kepulauan Riau.
3. Pesisir Timur Sumatra bagian tengah.
4. Brunai dan Serawak.
5. Tanjungpura (Kalimantan Barat).
Sedangkan daerah yang diperoleh dari Majapahit secara diplomasi adalah
sebagai berikut.
1. Indragiri
2. Palembang
3. Pulau Jemaja, Tambelan, Siantan, dan Bunguran
5. Kerajaan Indrapura
Kerajaan Inderapura merupakan kerajaan yang berada di
wilayah Kabupaten Pesisir Selatan sekarang, di dekat perbatasan dengan provinsi
Bengkulu. Secara resmi kerajaan ini merupakan bawahan (vazal) Kerajaan
Pagaruyung. Pada prakteknya Inderapura berdiri sendiri serta bebas mengatur
urusan dalam dan luar negerinya.
Kerajaan ini pada masa jayanya meliputi wilayah pantai
barat Sumatera mulai dari Padang di utara sampai Sungai Hurai di selatan.
Produk terpenting Indrapura adalah lada, dan juga emas.
Sejarah Berkembangnya Indrapura
Inderapura dikenal juga sebagai Ujung Pagaruyung.
Dengan melemahnya kekuasaan Pagaruyung selama abad kelima belas, seperti
daerah-daerah pinggiran Minangkabau lainnya, antara lain Indragiri dan Jambi,
Inderapura dibiarkan mengurus dirinya sendiri.
Namun perkembangan Inderapura baru benar-benar dimulai
saat Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Arus perdagangan yang tadinya
melalui Selat Malaka sebagian besar beralih ke pantai barat Sumatera dan Selat
Sunda. Perkembangan dan ekspansi Inderapura terutama ditunjang oleh lada.
Saat tepatnya Inderapura mencapai status negeri
merdeka tidak diketahui dengan pasti. Namun diperkirakan ini bertepatan dengan
mulai maraknya perdagangan lada di wilayah tersebut. Pada pertengahan abad
keenam belas didorong usaha penanaman lada batas selatan Inderapura mencapai
Silebar (sekarang di propinsi Bengkulu). Pada masa ini Inderapura menjalin
persahabatan dengan Banten dan Aceh. Saat itu Kesultanan Aceh sudah melakukan
ekspansi sampai wilayah Pariaman.
Persahabatan dengan Aceh dipererat dengan ikatan
perkawinan antara Raja Dewi, putri Sultan Munawar Syah dari Inderapura, dengan
Sri Alam Firman Syah, saudara raja Aceh saat itu, Sultan Ali Ri’ayat Syah
(1568-1575). Lewat hubungan perkawinan ini dan kekuatan ekonominya Inderapura
mendapat pengaruh besar di Kotaraja (Banda Aceh). Hulubalang dari Inderapura
disebut-sebut berkomplot dalam pembunuhan putra Sultan Ali Ri’ayat Syah,
sehingga melancarkan jalan buat suami Raja Dewi naik tahta dengan nama Sultan
Sri Alam pada 1576. Namun kekuasaannya hanya berlangsung selama tiga tahun
sebelum disingkirkan dengan dukungan para ulama.
Namun pengaruh Inderapura tak dapat disingkirkan
begitu saja. Dari 1586 sampai 1588 saudara Raja Dewi memerintah dengan gelar
Sultan Ali Ri’ayat Syah II, sebelum akhirnya terbunuh oleh intrik ulama Aceh.
Kemerosotan
Di bawah Sultan Iskandar Muda (1607-1636), seraya
memerangi negeri-negeri penghasil lada di Semenanjung Malaya, Aceh berusaha
memperkuat cengkeramannya atas monopoli lada dari pantai barat Sumatera.
Kendali ketat para wakil Aceh (disebut sebagai panglima)di Tiku dan Pariaman
atas penjualan lada mengancam perdagangan Inderapura lewat pelabuhan di utara.
Karena itu Inderapura mulai mengembangkan bandarnya di selatan, Silebar, yang
biasanya digunakan untuk mengekspor lada lewat Banten.
Inderapura juga berusaha mengelak dari membayar cukai
pada para panglima Aceh. Ini memancing kemarahan Iskandar Muda yang mengirim
armadanya pada 1633 untuk menghukum Inderapura. Raja Putih yang memerintah
Inderapura saat itu dihukum mati beserta beberapa bangsawan lainnya, dan banyak
orang ditawan dan dibawa ke Kotaraja. Aceh menempatkan panglimanya di
Inderapura dan Raja Malfarsyah diangkat menjadi raja menggantikan Raja Putih.
Di bawah pengganti Iskandar Muda, Sultan Iskandar
Tsani kendali Aceh melemah. Pada masa pemerintahan Ratu Tajul Alam pengaruh
Aceh di Inderapura mulai digantikan Belanda (VOC).[1]
Dominasi VOC diawali ketika Sultan Muhammadsyah
meminta bantuan Belanda memadamkan pemberontakan di Inderapura pada tahun 1662.
Pemberontakan ini menyebabkan Sultan Inderapura terpaksa melarikan diri beserta
ayahnya, Raja Malfarsyah, dan kakak iparnya, Raja Sulaiman. Sebagai imbalan
dijanjikan hak monopoli pembelian lada, dan hak pengerjaan tambang emas.
Sebagai reaksi terhadap serbuan rakyat ke kantor
dagang di Inderapura tanggal 6 Juni 1701 VOC membalas dengan mengirim pasukan
yang tidak hanya membunuhi dan merampok penduduk tetapi juga memusnahkan semua
tanaman lada yang merupakan sandaran ekonomi Inderapura. Keluarga raja
Inderapura mengungsi ke pegunungan. VOC mengangkat Sultan Pesisir sebagai raja.
Indrapura akhirnya benar-benar runtuh pada 1792 ketika
garnisun VOC di Airhaji menyerbu Indrapura karena pertengkaran komandannya
dengan Sultan Pesisir. Raja Inderapura mengungsi ke Bengkulu dan meninggal di
sana (1824).
No comments:
Write comments