Tuesday, March 19, 2019

Syarat-Syarat Yurisprudensi



Yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia adalah putusan Majelis Hakim Agung di Mahkamah Agung Indonesia yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap berisi kaidah hukum yang diberlakukan dalam memeriksa dan memutus perkara dalam lingkup Peradilan Pidana, Perdata, Tata Usaha Negara, Agama dan Niaga yang dikualifikasi. Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang telah beberapa kali dipergunakan sebagai acuan bagi para Hakim untuk memutus suatu perkara yang sama sehingga menjadi sumber hukum yang memiliki kekuatan mengikat secara relatif. 
Yurisprudensi adalah salah satu sumber hukum yang dapat menjadi rujukan oleh hakim dalam memutus perkara. Belum ada satu kesepahaman mengenai pengertian yurisprudensi yang diakui bersama. Luasnya pengertian yurisprudensi dikarenakan Indonesia terpengaruh sistem hukum civil law yang menempatkan yurisprudensi sebagai sumber hukum yang tidak mengikat oleh hakim. Hakim dapat mengikuti yurisprudensi yang telah ada sebelumnya atau bahkan berbeda dengan yurisprudensi. 
Sedangkan syarat-syarat Yurisprudensi adalah
1.      Harus sudah merupakan putusan yang berkekuatan hokum tetap
2.      Dinilai baik, dalam arti memang menghasilkan keadilan bagi pihak-pihak bersangkutan
3.      Putusan yang harus sudah berulang beberapa kali atau dilakukan dengan pola yang sama di beberapa tempat terpisah
4.      Norma yang terkandung di dalamnya memang tidak terdapat dalam peraturan tertulis yang berlaku, ataupun kalau ada tidak begitu jelas
5.      Putusan ini dinilai telah memenuhi syarat sebagai yurisprudensi dan direkomendasikan oleh tim eksaminasi atau tim penilai tersendiri yang dibentuk oleh MA atau MKuntuk menjadi Yurisprudensi yang bersifat tetap



Sumber :
2.         Agustine ,Oly Viana. 2018. Keberlakuan Yurisprudensi pada Kewenangan Pengujian Undang-Undang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi. Jurnal
4.         Catatan

Kekuatan Hukum Peraturan Perundang-Undangan


Kekuatan Hukum peraturan perundang-undangan berdasarkan undang-undang nomor 12 tahun 2011 adalah
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tagun 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau TAP MPR
3. Undang-Undang(UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang(Perpu)
4. Peraturan Pemerintah (PP)
5. Peraturan Daerah Provinsi (Perda Prov)
6. Peraturan Daerah Kabupaten Kabupaten/Kota (Perda Kab/Kota)

Jadi dalam pembentukan peraturan Perundang-Undangan, peraturan yang di bawahnya adalah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. dimana Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum negara dan UUD NRI tahun 1945 merupakan hukum dasar Peraturan Perundang-Undangan. Materi muatan Pidana selain di KUHP hanya dapat dimuat dalam UU, Perda Prov dan Kab/Kota, dalam ketentuan Pidana di Perda pun dibatasi hanya berupa ancaman pidana paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp.50.000.000(lima puluh juta)

SEJARAH KESULTANAN DEMAK, KERAJAAN ISLAM PERTAMA DI JAWA



Kesultanan Demak atau Kerajaan Demak adalah Kerajaan Islam pertama dan terbesar di Jawa, dalam sepanjang sejarah kerajaan di Nusantara. Kerajaan Demak terletak di pantai utara Jawa(“pesisir). Menurut cerita tutur ataupun tradisi Jawa, Demak pada awalnya merupakan Kadipaten dari kerajaan Majapahit, kemudian setelah Majapahit runtuh menjadi kekuatan baru dan menjadi salah satu kekuatan yang mewarisi Majapahit.

Awal Mula berdirinya
Menjelang akhir abad ke-15, seiring kemunduran Majapahit lalu beberapa wilayah kekuasaan Majapahit mulai memisahkan diri, dan wilayah-wilayah tersebut yang terdiri dari kadipaten-kadipaten saling berdiri sendiri , saling serang dan saling mengklaim sebagai pewaris Majapahit. Menurut sumber tradisi bahwa Majapahit runtuh pada tahun 1478 pada masa pemerintahan Girindrawarddhana secara resminya dan runtuh akibat serangan kerajaan Demak. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Fatah atas dukungan dan restu oleh Para Walisongo. Diperkirakan kerajaan ini berdiri sekitar tahun 1478 M. Sebelum menjadi Kerajaan Demak, awalnya kawasan ini merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Majapahit pada masa Brawijaya V. kala itu, Demak merupakan sebuah kadipaten yang lebih dikenal dengan nama “Glagah Wangi” yang menjadi wilayah dari Kadipaten Jepara. Yang waktu itu merupakan satu-satunya yang memiliki adipati yang beragama Islam, lalu setelah kerajaan Majapahit mengalami kemunduran, Demak mulai memisahkan diri hingga dengan restu dan dukungan walisongo, Raden Fatah mendirikan Kerajaan Demak.
Kerajaan Demak memiliki posisi yang strategis, oleh karena itu dengan cepat menjadi pusat perdagangan dan pusat pendidikan, banyak orang dating ke Demak untuk menuntut ilmu dan berdagang. Karena diapit oleh pelabuhan Kerajaan Mataram Kuno dan pelabuhan di Jepara.
Berdirinya Kerajaan Demak ditandai dengan adanya condro sengkolo “Sirno Ilang Kertaning Bumi”. Sinangkelan Kerajaan Demak yaitu “Geni Mati Siniram Janmi” yang memiliki arti tahun saka 1403 atau 1481 M. Menurut cerita Rakyat, pada saat berkunjung ke Glagah Wangi orang pertama yang dijumpai oleh Raden Fatah adalah Nyai Lembah. Nyai Lembah ini berasal dari Rawa pening. Atas saran yang diberikan oleh Nyai Lembah ini, Raden Fatah bermukim di desa Glagah wangi yang saat ini lebih dikenal dengan nama “Bintoro Demak”. Pada perkembangannya, bintoro Demak inilah yang menjadi ibu kota Negara Kerajaan Demak.
asal usul Kota Demak ada beberapa pendapat yang menyatakan. Beberapa pendapat tersebut antara lain adalah:
1.      Menurut Prof. Purbotjaroko, Demak berasal dari kata Delemak. Yang artinya tanah yang mengandung air ( rawa)
2.      Menurut Prof. R.M. Sutjipto Wiryosuparto, Demak berasal dari bahasa kawi yang artinya pegangan atau pemberian.
3.      Menurut Sholichin salam dalam bukunya “sekitar walisongo “ menyatakan bahwa prof. Dr.Hamka berpendapat , Kota Demak adalah berasal dari bahasa arab “ Dimak” yg artinya air mata . menggambarkan kesulitan dalam menegakkan Agama Islam pada waktu itu.
Raja pertama Kerajaan Demak adalah Raden Patah bergelar Senapati Jumbung Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama, lalu setelah menjadi raja Demak bergelar Sultan Alam Akbar al Fatah. Sumber lain mengatakan bahwa Raden Patah memerintah di Demak tahun 1500-1518. Jika Raden Patah dilahirkan pada 1455 di Palembang, maka saat menjadi Raja Demak beliau umur 45 tahun. Raden Patah pula yang mengubah nama Glagah Wangi menjadi Demak, dengan Bintoro sebagai ibukota dari Kerajaan Demak.
Raden Patah turun tahta pada tahun 1518, dikarenakan wafat. Raden Fatah memiliki 3 istri dan dari kketiga istrinya memiliki 5 anak, yakni Raden Surya dikenal juga dengan nama Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor, Raden Trenggana dari istri pertama yakni Putri Bong Swi Hoo (maksudnya putri sunan ampel). Raden Kanduruwan, yang kelak disebut-sebut sebagai Penakluk Sumenep [Madura] pada masa Demak diperintah Raden Trenggana atau Sultan Trenggana daari istri kedua yakni Putri Rangdu Sanga. Istri ketiga yakni Putri Dipati Jipang, Raden Patah kemudian memperoleh dua anak yaitu Raden Kikin atau Pangeran Sekar Seda Ing Lapen dan Ratu Mas Nyawa. Kelak Raden Kikin itu kemudian melahirkan Arya Penangsang , sementara Ratu Nyawa kelak menikah dengan anak Sultan Cirebon [Sunan Gunung Jati].
Setelah Raden Fatah wafat, Pati Unus atau lebih dikenal dengan sebutan Adipati Unus, karena sebelumnya memerintah kadipaten Jepara naik tahta. Pati Unus dikenal sebagai seorang panglima perang yang gagah dan berani, pada masa Raden Patah, Portugis mulai dating ke Nusantara dan mampu menguasai Malaka, Malaha merupakan pelabuhan penting di Nusantara, strategis dan salah satu pusat perdagangan di Nusantara, untuk itu Pati Unus pernah diperintah untuk membebaskan Malaka, perlawanan yang dibantu Kerajaan Aceh ini pun sayangnya gagal, karena beberapa kesalahan dan dengan peralatan yang tidak sebanding, peralatan perang utama dari Kerajaan di Nusantara hanyalah resep dari Kerajaan Majapahit dan belum ada pengembangan senjata lebih lanjut karena kemunduran yang ada di Nusantara. Pada saat Pati Unus menjadi Raja atau Sultan, hanya dengan kata-kata Pati Unus mampu melakukan blockade terhadap Portugis di Malaka, karena inilah Malaka menjadi sepi dan Portugis mengalami masalah, dank arena keberanian untuk menyerang Malaka, Pati Unus mendapatkan gelar Pangeran Sabrang Lor. Sayang Pati Unus yang memiliki wawasan Nusantara dan memiliki keinginan untuk menjadikan Demak kuat dalam Maritim hanya memerintah Kerajaan Demak selama 3 Tahun, dari 1518 sampai 1521. Wafat pada pertempuran di Malaka 1521 pada usia 41 tahun. Tidak jelas kenapa, Pati Unus tidak memiliki keturunan(sepanjang pengetahuan saya), entah karena anak-anaknya gugur di medan pertempuran di Malaka ataukah setelah pertempuran pertama di Malaka Pati Unus memang tidak memiliki keturunan, yang jelas tahta kerajaan tidak diberikan kepada anaknya dikarenakan tidak ada pewaris tahtanya.
Karena tidak memiliki pewaris tahta inilah terjadi kekisruhan dan perebutan kekuasaan setelahnya. Sepeninggal Pati Unus, Pangeran Trenggana dan Raden Kikin saling berebut tahta, dalam perebutan ini tentu kedua belah pihak punya dukungan masing-masing. Pada kelanjutan ceritanya, Raden Kikin dibunuh oleh Sunan Prawata(anak dari Pangeran Trenggana). Sementara Arya Penangsang(anak Raden Kikin) kemungkinan masih kecil karena dikisahkan Arya Penangsang memerintah Jipang sejak usia yang dini. Oleh karena meninggalnya Raden Kikin di sungai(tempat terjadinya pembunuhan) inilah Raden Kikin lebih dikenal dengan Pangeran Sekar Seda Ing Lapen, yang artinya Pangeran yang wafat di sungai. Bisa dikatakan, dari sinilah muncul benih-benih kebencian, karena Arya Penangsang kelak merasa patut untuk memang memperjuangkan haknya. Dalam perjalannya nanti, Arya Penangsang dengan kekuatannya membunuh Sunan Prawata(anak Sultan Trenggana) dan merebut kekuasaan.
Pada masa pemerintahan Sultan Trenggana dapat dikatakan merupakan masa keemasan atau masa kejayaan kerajaan Demak, tetapi juga bisa dikatakan lain karena berbeda dengan Pati Unus yang memiliki visi Nusantara, Sultan Trenggana lebih memilih untuk berusaha menyatukan Jawa dalam satu kekuasaan, padahal orang-orang jaman itu tentu masih teringat dengan masa Kerajaan Majapahit dan tidak dengan mudah mau tunduk kepada Sultan Trenggana(Demak). Sehingga Sultan Trenggana disibukkan dengan usaha mempersatukan Jawa. Pemerintahan Sultan Trenggana merupakan yang terlama sepanjang sejarah Kerajaan Demak, yakni 25 tahun dari 1521 hingga 1546. Wilayah kekuasaan yang mampu diperluas sampai Jawa Timur dan Jawa Barat, dan Sultan Trenggana merupakan pemimpin yang berperan dalam penyebaran adama Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di masa kepemiminan Sultan Trenggana, Demak mampu menguasai daerah-daerah di Jawa. Tahun 1522 Sultan Trenggana mengirim pasukannya menuju Sunda Kelapa untuk mengalahkan Portugis di bawah pimpinan Fatahillah. Pada tahun 1527 barulah Sunda Kelapa bisa direbut oleh Kerajaan Demak. Maka sejak saat itu dinamakan Jayakarta maknanya kemenangan yang sempurna. serta itu menyerang Jawa Barat yakni Banten, Cirebon. Penyerangan ini di bawah pimpinan Fatahillah. Ketiganya berhasil ditaklukkan oleh Fatahillah. Mengadakan perkawinan politik juga dilakukan Sultan Trenggana. Pangeran Hadiri adipati Jepara dinikahkan dengan putrinya. Fatahillah dengan adiknya. Pangeran Pasarehan (Raja Cirebon) dengan putrinya. Serta Jaka Tingir adipati Pajang dengan putrinya.Pada tahun 1529 meluaskan kekuasaan dengan menaklukkan Madiun. Tahun 1545 menguasai Malang dan Blambangan.
Pada tahun 1546, Sultan Trenggana meninggal saat penaklukkan di Panarukan. Sultan Trenggana memanggil para panglima perang untuk membahas taktik. Pada saat itu pasukan Sultan Trenggana sudah mengepung Panarukan selama tiga bulan tetapi belum berhasil merebut kota. Saat itu putra Bupati Surabaya yang berusia 10 tahun ikut dalam rapat. Saat itu Sultan Trenggana tidak terlalu diperhatikan oleh anak tersebut. Sultan Trenggana pun marah dan memukulnya. Secara refleks anak tersebut mengambil pisau dan menikam Sultan Trenggana. Sepeninggal Sultan Trenggana. Kerajaan Demak diperintah oleh Raden Mukmin. Raden Mukmin dalam memerintah tidak terlalu memiliki keahlian politik. Bahkan cenderung sebagai ahli agama. Oleh karena itu Banten, Cirebon, Surabaya dan gresik lepas dari Kerajaan Demak dan membangun kerajaan sendiri. Raden Mukmin memiliki ambisi meluaskan kekuasaan ayahnya tapi sangat sulit karena pengetahuan politiknya yang kurang. Sehingga pada saat itu pusat kerajaan dipindahkan ke Prawata. Makanya beliau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Prawoto. Dipindahkannya pusat pemerintahan ini maka mulailah masa Demak Prawata. Sunan Prawata lebih dikendalikan oleh Ratu Kalinyamat yang dari Jepara. Pada tahun 1549 Raden Mukmin beserta istri tewas terbunuh oleh anak Pangeran Sekar yaitu P. Arya Penangsang. Arya Penangsang pun naik tahta dan menjadi Raja Demak 5 Pengikut Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri seorang adipati jepara(bisa juga dibilang ini tidak bisa disebut Kerajaan Demak lagi, karena Praktis kekuasaan dipindah ke Jipang). Akibat tindakannya itu Arya Penangsang tidak disukai oleh para adipati. Pada tahun 1554 terjadilah Pemberontakan dilakukan oleh Adipati Pajang Jaka Tingkir (Hadiwijoyo) untuk merebut kekuasaan dari Arya Penangsang. Dalam Peristiwa ini Arya Penangsang dibunuh oleh Sutawijaya, anak angkat Jaka Tingkir. Dengan terbunuhnya Arya Penangsang sebagai Raja Demak ke 5, maka berakhirlah era Kerajaan Demak. Jaka Tingkir memindahkan Pusat Pemerintahan ke Pajang dan mendirikan Kerajaan Pajang.

Dengan begitu praktis Kerajaan sudah tidak ada kerajaan Demak, Demak yang merupakan kerajaan Islam di Jawa dan terbesar, pelopor penyebaran Islam di Jawa juga di Nusantara.



Tuesday, March 5, 2019

Makna Lagu You're Beautiful, Bukan Romantis tapi


You’re Beautiful, lagu dari James Blunt yang enak didengar, seperti semacam lagu romantic ya kalau sekilas? Eits, tunggu dulu, sepertinya lagu ini maknanya tak itu, barangkali lebih dari itu atau memang bukan itu ya. Mungkin bias kita bedah dulu ya dari liriknya.
Lagu ini seperti menceritakan melihat seorang wanita cantik, mendeskripsikannya, tentu itu terlihat dari lirik ‘I saw an angel’, dimana disitu aku melihat malaikat,dan itu tidak dikenal dalam lirik selanjutnya yakni ‘She smiled at me on the subway’ Dari sini terlihat ya, seperti melihat orang asing gitu, belum dikenal, ah tapi seperti melihat malaikat, betapa bersinarnya, tapi sayangnya pada lirik selanjutnya, pada lirik ‘she was another man’, ah pasti ini bikin patah hati, ternyata si doi bersama dengan pria lain.
Doi yang cantik, lalu melihat momen momen indah saat saling bertatap mata, bertemu di tempat yang ramai, dan sayangnya adalah tak mampu tau apa yang seharusnya dilakukan, dan pada akhirnya juga harus menyadari bahwa memang dia bukan untuk kita, selamanya, barangkali memang hanya itu kenangan manisnya, tak bisa dilanjutkan. Kalau ibaratnya dalam lagu Indonesia seperti ‘Layu Sebelum Berkembang’. Dan benar-benar dia bisa melihat dengan jelas, bahwa kita benar-benar terbang tinggi dibuatnya, tak berkutik, sekali lagi sayangnya tak akan pernah bersama, seperti di akhir lirik ‘I Will Never Be With You’
Kalau mau lirik lengkapnya, ini mimin hadirkan…

My life is brilliant.
Hidupku brilian
My love is pure.
Cintaku murni.
I saw an angel.
Aku melihat malaikat.
Of that I’m sure.
Dari itu saya yakin.
She smiled at me on the subway.
Dia tersenyum padaku di kereta bawah tanah.
She was with another man.
Dia bersama pria lain.

But I won’t lose no sleep on that,
Tapi aku tidak akan kehilangan tidur untuk itu,
‘Cause I’ve got a plan.
Karena aku punya rencana.

You’re beautiful.
Kamu cantik.
You’re beautiful.
Kamu cantik.
You’re beautiful, it’s true.
Kamu cantik, itu benar.
I saw you face in a crowded place,
Aku melihatmu di tempat yang ramai,
And I don’t know what to do,
Dan saya tidak tahu harus berbuat apa,
‘Cause I’ll never be with you.
Karena aku tidak akan pernah bersamamu

Yeah, she caught my eye,
Ya, dia menangkap mataku,
As we walked on by.
Saat kami lewat.
She could see from my face that I was,
Dia bisa melihat dari wajahku bahwa aku,
Flying high,
Terbang tinggi,
And I don’t think that I’ll see her again,
Dan saya tidak berpikir bahwa saya akan menemuinya lagi,
But we shared a moment that will last till the end.
Tapi kami berbagi momen yang akan bertahan sampai akhir.

You’re beautiful.
Kamu cantik.
You’re beautiful.
Kamu cantik.
You’re beautiful, it’s true.
Kamu cantik, itu benar.
I saw you face in a crowded place,
Aku melihatmu di tempat yang ramai,
And I don’t know what to do,
Dan saya tidak tahu harus berbuat apa,
‘Cause I’ll never be with you.
Karena aku tidak akan pernah bersamamu
You’re beautiful.
Kamu cantik.
You’re beautiful.
Kamu cantik.
You’re beautiful, it’s true.
Kamu cantik, itu benar.
There must be an angel with a smile on her face,
Harus ada malaikat dengan senyum di wajahnya,
When she thought up that I should be with you.
Saat dia berpikir bahwa aku harus bersamamu.
But it’s time to face the truth,
Tapi sudah waktunya menghadapi kenyataan,
I will never be with you.
Aku tidak akan pernah bersamamu.



Kamu pernah seperti lagu ini?


Sumber gambar : https://www.amazon.co.uk/Youre-Beautiful-James-Blunt/dp/B000AN026O

Sunday, March 3, 2019

Perbedaan Piagam Jakarta dengan Pancasila

Isi Piagam Jakarta(Jakarta Charter) 22 Juni 1945
1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Sementara bunyi Pancasila sekarang adalah
Pancasila
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Perbedaan antara keduanya adalah terletak pada sila pertama, di mana di dalam Piagam Jakarta pasal 1 berbunyi "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya"
Tahukah kamu,kenapa piagam isi piagam Jakarta ini hampir mirip,hampir sama dengan isi pancasila sekarang?
Ini dikarenakan isi piagam Jakarta adalah rancangan untuk dasar negara Republik Indonesia saat itu.
Tahukah kamu,kenapa berbeda?
Waktu itu karena adanya protes atau usulan dari perwakilan Indonesia timur tentang sila pertama yaitu pada poin "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dan ini mereka anggap kurang cocok dengan masyarakat Indonesia timur yang mayoritas masyarakatnya adalah non Islam. Dan akhirnya,demi kebaikan bersama dan oleh kesepakatan bersama maka diubahlah sila pertama seperti yang ada pada Pancasila yang sekarang ini yaitu "Ketuhanan yang maha esa"

Setelah kesepakatan akhirnya sampailah pada isi yang seperti sekarang.


sumber gambar : https://www.nahimunkar.org/18-agustus-1945-dihapusnya-syariat-islam-dalam-piagam-jakarta-3/

Perang Diponegoro, Perang Jawa, Perang Terbesar di Jawa masa Kolonial Belanda


Perang Diponegoro atau juga sering disebut Perang Jawa,(Inggris : The Java War, Belanda : De Java Oorlog). merupakan perang besar yang terjadi di Jawa berlangsung selama lima tahun, yakni dari tahun 1825-1830 . Perang yang merupakan salah satu perang terbesar pada masa colonial Belanda di Indonesia(pada saat itu namanya Hindia Belanda).
Perseteruan keraton Jawa dengan Belanda dimulai semenjak kedatangan Marsekal Herman Williem Daendels di Batavia pada 5 Januari 1808, meskipun ia sebenarnya hanya ditugaskan untuk mempersiapkan Jawa sebagai baris pertahanan Perancis melawan Inggris(pada saat itu Belanda dikuasai Perancis), tetapi Daendels juga mengubah etika dan tata upacara lain yang membuat ketidaknyamanan serta kebencian dari pihak keratin Jawa. Ia memaksa pihak Keraton Yogyakarta untuk memberinya akses terhadap berbagai sumber daya alam dan manusia dengan mengerahkan kekuatan militernya, membangun jalan dari Anyer hingga Panarukan, hingga akhirnya terjadi insiden perdagangan kayu jati di daerah mancanegara (wilayah Jawa di timur Yogyakarta) yang menyebabkan terjadinya pemberontakan Raden Ronggo. Setelah gagalnya Pemberontakan Raden Ronggo(1810), Daendels memaksa Sultan Hamengkubuwono II untu membayar kerugian akibat perang serta melakukan berbagai penghinaan lain yang menyebabkan perseteruan antar keluarga keratin(1811), pada tahun yang sama, pasukan Inggris mendarat dan mengalahkan Belanda di Jawa.
Meskipun pada mulanya Inggris yang dipimpin Thomas Stamford Bingley Raffles memberikan dukungan kepada Sultan Hamengkubuwana II, pasukan Inggris akhirnya menyerbu Keraton Yogyakarta (19-20 Juni 1812) yang menyebabkan Sultan Hamengkubuwana II diturunkan secara tidak hormat dan digantikan putra sulungnya, yaitu Sultan Hamengkubuwana III. Perisitwa ini dikenal dengan nama Geger Sepehi. Inggris memerintah hingga tahun 1815 dan mengembalikan Jawa kepada Belanda sesuai isi Perjanjian Wina (1814) di bawah Gubernur Jenderal Belanda van der Capellen. Pada masa pemerintahan Inggris, Hamengkubuwana III wafat dan digantikan putranya, adik tiri Pangeran Diponegoro, yaitu Hamengkubuwana IV yang berusia 10 tahun (1814), sementara Paku Alam I menjadi adipati di Puro Kadipaten Pakualaman sekaligus wali Raja sedangkan Patih Danuredjo III bertindak sebagai wali Raja.
Pada tanggal 6 Desember 1822, Sultan Hamengkubuwana IV meninggal pada usia 19 tahun. Ratu Ageng (permaisuri Hamengkubuwana II) dan Gusti Kangjeng Ratu Kencono (permaisuri Hamengkubuwana IV) memohon dengan sangat kepada pemerintah Belanda untuk mengukuhkan putra Hamengkubuwana IV yang masih berusia 2 tahun untuk menjadi Hamengkubuwana V serta tidak lagi menjadikan Paku Alam sebagai wali. Pangeran Diponegoro selanjutnya diangkat menjadi wali bagi keponakannya bersama dengan Mangkubumi. Pada tahun 1823, tahta keraton yang seharusnya diduduki wali sultan yang masih balita ternyata ditempati oleh Residen Belanda saat itu, yaitu Smissaert, sehingga sangat melukai hati masyarakat Yogya dan Pangeran Diponegoro, meskipun ada kecurigaan bahwa tindakan Smissaert disebabkan kedua ratu tidak ingin melihat Diponegoro duduk di atas tahta. Menindaklanjuti pengamatan Van der Graaf pada tahun 1821 yang melihat para petani lokal menderita akibat penyalahgunaan penyewaan tanah oleh warga Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman, van der Capellen mengeluarkan dekret pada tanggal 6 Mei 1823 bahwa semua tanah yang disewa orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya per 31 Januari 1824. Namun, pemilik lahan diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa lahan Eropa. Keraton Yogyakarta terancam bangkrut karena tanah yang disewa adalah milik keraton sehingga Pangeran Diponegoro terpaksa meminjam uang kepada Kapitan Tionghoa di Yogyakarta pada masa itu. Smissaert berhasil menipu kedua wali sultan untuk meluluskan kompensasi yang diminta oleh Nahuys atas perkebunan di Bedoyo sehingga membuat Diponegoro memutuskan hubungannya dengan keraton. Putusnya hubungan tersebut terutama disebabkan tindakan Ratu Ageng (ibu tiri pangeran) dan Patih Danurejo yang pro kepada Belanda. Pada 29 Oktober 1824, Pangeran Diponegoro mengadakan pertemuan di rumahnya, di Tegalrejo, untuk membahas mengenai kemungkinan pemberontakan pada pertengahan Agustus. Pangeran Diponegoro membulatkan tekad untuk melakukan perlawanan dengan membatalkan pajak Puwasa agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan.
Pemicu perang besar di Jawa ini sebenarnya bukan satu alasan saja yaitu dibangunnya rel di pemakaman leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo, tetapi karena memang sudah sangat muaknya Pangeran Diponegoro terhadap perilaku Belanda yang memang telah sewenang-wenang, mulai dari berkecimpungnya mereka dengan keputusan-keputusan kesultanan, tingginya pajak yang dibebankan kepada masyarakat, dan tindakan mereka yang menyeleweng dari syariat-syariat Islam.
Pada pertengahan bulan Mei 1825, Smissaert memutuskan untuk memperbaiki jalan-jalan kecil di sekitar Yogyakarta. Namun, pembangunan jalan yang awalnya dari Yogyakarta ke Magelang melewati Muntilan dibelokkan melewati pagar sebelah timur Tegalrejo. Pada salah satu sektor, patok-patok jalan yang dipasang orang-orang kepatihan melintasi makam leluhur Pangeran Diponegoro. Patih Danurejo tidak memberitahu keputusan Smissaert sehingga Pangeran Diponegoro baru mengetahui setelah patok-patok dipasang. Perseteruan terjadi antara para petani penggarap lahan dengan anak buah Patih Danurejo sehingga memuncak di bulan Juli. Patok-patok yang telah dicabut kembali dipasang sehingga Pangeran Diponegoro menyuruh mengganti patok-patok dengan tombak sebagai pernyataan perang.
Pada hari Rabu, 20 Juli 1825, pihak istana mengutus dua bupati keraton senior yang memimpin pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo sebelum perang pecah. Meskipun kediaman Diponegoro jatuh dan dibakar, pangeran dan sebagian besar pengikutnya berhasil lolos karena lebih mengenal medan di Tegalrejo.  Pangeran Diponegoro beserta keluarga dan pasukannya bergerak ke barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga keesokan harinya tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaan dia. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.
Penyerangan di Tegalrejo memulai perang Diponegoro. Pangeran Diponegoro memimpin masyarakat Jawa, dari kalangan petani hingga golongan priyayi yang menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya sebagai dana perang, dengan semangat "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati"; "sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati". Sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Pangeran Diponegoro. Bahkan Pangeran Diponegoro juga berhasil memobilisasi para bandit profesional yang sebelumnya ditakuti oleh penduduk pedesaan, meskipun hal ini menjadi kontroversi tersendiri. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Dalam perang Jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.
Di sisi lain, sebenarnya Belanda sedang menghadapi Perang Padri di Sumatera Barat. Penyebab Perang Paderi adalah perselisihan antara Kaum Padri (alim ulama) dengan Kaum Adat (orang adat) yang mempermasalahkan soal agama Islam, ajaran-ajaran agama, mabuk-mabukan, judi, maternalisme dan paternalisme. Saat inilah Belanda masuk dan mencoba mengambil kesempatan. Namun pada akhirnya Belanda harus melawan baik kaum adat dan kaum paderi, yang belakangan bersatu. Perang Paderi berlangsung dalam dua babak: babak I antara 1821-1825, dan babak II setelah perang Diponegoro nanti. Untuk menghadapi Perang Diponegoro, Belanda terpaksa menarik pasukan yang dipakai perang di Sumatera Barat untuk menghadapi Pangeran Diponegoro yang bergerilya dengan gigih. Sebuah gencatan senjata disepakati pada tahun 1825, dan sebagian besar pasukan dari Sumatera Barat dialihkan ke Jawa.
Bagi Diponegoro dan para pengikutinya, perang ini merupakan perang jihad melawan Belanda dan orang Jawa murtad. Sebagai seorang muslim yang saleh, Diponegoro merasa tidak senang terhadap religiusitas yang kendur di istana Yogyakarta akibat pengaruh masuknya Belanda, disamping kebijakan-kebijakan pro-Belanda yang dikeluarkan istana.[9]Infiltrasi pihak Belanda di istana telah membuat Keraton Yogyakarta seperti rumah bordil. Di lain pihak, Smissaert menulis bahwa Pangeran Diponegoro semakin lama semakin hanyut dalam fanatisme dan banyak anggota kerajaan yang menganggapnya kolot dalam beragama.
Dalam laporannya, Letnan Jean Nicolaas de Thierry menggambarkan Pangeran Diponegoro mengenakan busana bergaya Arab dan serban yang seluruhnya berwarna putih. Busana tersebut juga dikenakan oleh pasukan Diponegoro dan dianggap lebih penting dibandingkan busana adat Jawa meskipun perang telah berakhir. Laporan Paulus Daniel Portier, seorang indo, menyebutkan bahwa para tawanan perang Belanda memperoleh ancaman nyawa jika tidak bersedia masuk Islam.
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantrikavaleri dan artileri (yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal) di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan di dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun strategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerja sama dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malariadisentri, dan sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak", melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang di bawah komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
Di Selarong Pangeran Diponegoro mambagi tugas untuk melakukan perlawanan. Pangeran Diponegoro Anom ,putra pangeran Diponegoro, dan Tumenggung Danukusuma diberi tugas untuk melakukan perlawanan di daerah Bagelen. Pangeran Adiwinono dan Mangundipuro mendapat tugas mengadakan perlawanan di daerah Kedu dan sekitarnya . Pangeran Abu Bakar dan Tumenggung Jaya Mustopo mengadakan perlawanan di daerah Lowano. Pangeran Adisurya dan Pangeran Sumonegoro mengadakan perlawanan di Kulon Progo Tumenggung Cokronegoro memimpin pasukan di Godean. Pangeran Joyokusumo ( Pangeran Bei ) memimpin pasukan di utara Yogyakarta dibantu Tumenggung Suradilogo. Yogyakarta bagian timur diserahkan kepada Tumenggung Suryonegoro dan Tumenggung Suronegoro. Pertahanan di Selarong diberikan kepada Joyonegoro,pangeran Suryodiningrat dan Pangeran Joyowinoto. Gunung Kidul diberikan kepada pangeran Singosari dan Pangeran Warakusumo. Perlawanan di daerah Pajang dipegang oleh Pangeran Mertoloyo Pangeran Wiryokusumo, Tumenggung Sindurejo dan Pangeran Diporejo. Perlawanan di Sukawati dipimpin oleh Kertonegara , Bupati Mangunnegara memimpin perlawanan di Madiun Magetan dan Kediri.
Insiden Tegalreja tersebut terdengar oleh Gubernur Hindia Beland saat itu Van der Cepellen, dan memutuskan untuk mengirimkan Jenderal De Kock sebagai lawan tanding Pangeran Diponegoro. Jenderal De Kock sampai di Semarang pada tanggal 29 Juli 1825 dan tiba di Surakarta tanggal 30 Juli 1825. Membuat perundingan dengan Pakubuwana VI dan hasilnya Pakubuwana VI menyetjui untuk membantu Belanda menghentikan pemberontakan Pangeran Diponegoro. Untuk memadamkannya Belanda mengirimkan pasukan bantuan dari Semarang. Sesampainya di lembah Logerok (Lembah Pisangan) pasukan Belanda dengan dipimpin oeh kapten Keemsius disergap oleh pasukan Diponegoro dibawah pimpinan Musyosentika. Pasukan hancur musuh milik Belanda kalah telak dan sebanyak 200 orang tewas, serta berhasil dirampasnya uang 50.000 gulden yang akan dikirim kepada residen Yogyakarta. Kemenangan ini menjadi yang pertama di akhhir Juli 1825 serta membuat semain banyaknya orang yang menyebrang ke sisi golongan Pangeran Diponegoro.Kemudian bala bantuan dari timur yang berisikan dari legiun Mangkunegaraan dipimpin oleh Raden mas Suwongso menantu Mangkunegoro disergap di Randugunting, Kalasan. Hampir seluruh prajurit tewas. Pemimpinnya tersebut tertawan dan dibawa ke Selarong tetapi kemudian dibebaskan oleh Pangeran Diponegoro.
Mendengar berita kemenangan pasukan Diponegoro di logorok dan Randugunting dan di lain lain tempat, rakyat semakin bergerak dan kuat. Keluarga Keraton Yogyakarta ketakutan dan bersembunyi di benteng Belanda. Banyak alim ulama kraton yang meninggalkan kraton dan bergabung dengan pasukan Diponegoro.
Berita kemenangan-kemenangan tersebut sangat cepat menyebar bak kebakaran di padang rumput sehingga menghasilkan lebih banyak lagi simpaitisan—simpatisan yang menyebrang ke sisi Pangeran Diponegoro, dan menimbulkan perlawanan dimana-mana di Jawa.
Di Kedu pertempuran terjadi sangat sengit, pasukan rakyat yang disebut Bulkiya yang dipimpin oleh Haji Usaman Alibasah dan Haji Abdulkabir melawan pasukan Belanda dengan bantuan dari Bupati Magelang Tumenggung Hadiningrat. Pasukan Pangeran Diponegoro melumat dan memukul mundur pasukan Belanda serta menewaskan Bupati Magelang, Tumenggung Danuningrat. Di daerah Menoreh pun pasukan Pangeran Diponegoro dapat mengancurkan pasukan Belanda dan menewaskan Bupati Menoreh Ario Sumodilogo. Pada tanggal 7 Agustus 1825, Jenderal De Kock mengirim surat untuk mengadakan perundingan dengan segala pihak, dan dia diundang ke Selarong, tetapi Jenderal De Kock tidak berani datang.
Perlwanan rakyat terus berkobar , upaya de Kock untuk mengatasi perlawanan rakyat adalah degan cara memanggil opsir opsir yang bertugas diluar Jawa untuk menghadapi Diponegoro. Jenderal Van Geen yang bertugas memadamkan perlawanan di Sulawesi ditarik ke Jawa, selama berminggu minggu dia harus bertempur melawan rakyat Semarang yang dipimpin oleh Pangeran Serang. Pangeran Serang kemudian menuju ke Sukawati diselatan bergabung dengan pasukan Kartodirja. Kemudian mereka memimpin perlawanan rakyat di Rembang, Blora dan Bojonegara. Tumenggung Kartadirja tertembak kakinya kemudian ditawan di Semarang. Kemudian Pangeran Serang bergabung ke Madiun dan selanjutnya bergabung dengan Pangeran Diponegoro di Yogyakarta.
Jenderal de Kock berusaha mengepung markas pangeran Diponegoro di Selarong akan tetapi untuk mengepung Selarong de Kock terlebih dahulu harus menghadapi perlawanan rakyat di Semarang,Bagelen,Kedu, Banyumas Madiun dan Surakarta. Untuk itu de Kock menugaskan tangan kanannya yaitu Letkol Diell dan Letkol Cleerens. Letkol Diell menghadapi perlawanan rakyat di Banyumas dan Letkol Cleerens di Tegal dan Pekalongan.
Pasukan Belanda mengadakan serangan besar besaran ke Selarong pada 2 dan 4 Oktober 1825 namun Selarong sudah kosong karena Pangeran Diponegoro memindahkan markasnya ke Dekso. Para wanita,anak anak dan orang tua dipindahkan ke Suwela. Di situ Pangeran Diponegoro memperkuat dan memperbaiki pasukannya. Ia membentuk kesatuan pasukan baru dengan Senapati tangguh dan berpengalaman.
Pada akhir tahun 1825 Pasukan Diponegoro berhasil memukul mundur pasukan Belanda yang menyerang Imogiri. Di Yogya timur Tumenggung Suronegoro berhasil menggempur pertahanan Belanda dan mampu mengambil banyak senapan dan meriam dari Belanda.
Hanya di Yogya bagian barat pasukan Belanda mampu mengepung Dekso,markas pangeran Diponegoro. Kemudian pada tanggal 16 April 1826 pasukan gabungan Belanda dan Mangkunegaran menyerang pertahanan Pasukan Dipangera di Plered,tapi kemudian ditinggalkan dan diduduki kembali oleh pasukan Diponegoro. Pada 6 Juni dibawah pimpinan Kol Cochius, Pangeran Suria mataram dan pangeran Suriadiningrat. Kraton Tua Plered kembali dikuasai oleh Pasukan Belanda dan Mangkunegaran.
Pada 8 Juli 1826 Dekso diserang akan tetapi pangeran Diponegoro telah berpindah ke desa Kasuran. Kemudian tanggal 28 Juli pasukan Belanda kembali bergerak menuju Yogyakarta,di Kasuran pasukan Belanda disergap oleh Pasukan Diponegoro Van Geen kabur dan Kol Cochius dan dua orang bangsawan kraton tewas.
Selama tahun 1826 Pangeran Diponegoro selalu memenangkan pertempuran melawan Belanda dan Mangkunegaran. Perlawanan rakyat di Bagelen berhasil memukul mundur Belanda. Pangeran Bei memenangkan pertempuran di Kejiwan. Dalam pertempuran di Delanggu pasukan Diponegoro berhasil memenangkan pertempuran sengit, dan mendapatkan berpuluh senapan dan dua belas meriam, pertempuran di Delanggu adalah kemenangan terbesar bagi pihak Pangeran Diponegoro.
Karena mengalami kekalahan berturut turut sejak awal perang de Kock kemudian mengangkat kembali Sultan Hamengkubuwono II pada 1826. Pengangkatan ini bermaksud agar pimpinan perjuangan rakyat yang dulu setia kepada Sultan Sepuh mau meninggalkan perjuagan dan kembali ke kraton. Akan tetapi pemimpin pasukan tetap setia kepada Pangeran Diponegoro, dan tetap melanjutkan perlawanan.
Pada tahun 1827 karena telah menelan kekalahan bertubi tubi sejak dua tahun berperang. Jenderal de Kock mengubah siasat perang menjadi Benteng Stelsel, yaitu dengan mendirikan benteng di tempat yang diduduki. Siasat ini untuk mengimbangi siasat perang gerilya yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro yang selalu berpindah tempat. Sehingga pasukan de Kock tidak perlu mencari Diponegoro. Total 200 benteng dibangun untuk mengatasi perlawanan Pangeran Diponegoro.
Strategi benteng stelsel ini tidak langsung behasil karena pasukan Diponegoro masih memenangkan pertempuran pertempuran di Kedu. Di Banyumas pasukan Belanda bahkan harus kehilangan letkol Diels dan letkol de Bost. Hanya pasukan di daerah yogya selatan yang mamp dimenangkan oleh pasukan Belanda dimana Pangeran Notonegoro dan Pangeran Serang menyerah pada tanggal 21 Juni 1827 atas bujukan residen Yogya, van Lowick. Itu merupakan pukulan telak bagi pasukan Diponegoro.
Pada 1828 Belanda memindahkan markasnya ke Magelang Karena dinilai lebih strategis.,sebab lokasinya yang strategis untuk memadamkan perlawanan rakyat. Belanda terus memperkuat jaringan bentengnya, mereka mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro. Pada 1828 tepatnya pada tanggal 18 April Pangeran Natadiningrat putra Pangeran Mangkubumi menyerah. Penyerahan ini sangat menggembirakan bagi Belanda karena Belanda berharap Pangeran Mangkubumi juga ikut menyerah ke Belanda.
Disamping persenjataan yang lengkap dan modern. Belanda juga melancarkan cara lain untuk mempengaruhi para pemimpin pasukan Diponegoro untuk menyerahkan diri dengan iming iming posisi di kraton.
Pada akhir 1828 terjadi pertempuran di Penangguhan. Disini jatuh banyak korban dari Belanda maupun dari pasukan pangeran Diponegoro. Kapten Van Ingen dan Pangeran Prangwedana tewas dan di pihak Diponegoro komandan pasukan Mantirejon meninggal. Kedua belah pasukan menarik diri dari pertempuran ini. 
Pada 17 Februari Letkol Cleerens mengahadap Pangeran Diponegoro untuk mengajak berunding di Karesidenan. Pada 18 Maret Pangeran Diponegoro tiba di Magelang dengan berkuda tepat pada bulan Ramadhan. Diponegoro kemudian mengusulkan agar perundingan baru diadakan setelah Idul Fitri yang jatuh pada 27 maret 1830. Pada tanggal 28 Maret 1830 sehari setelah Idul Fitri, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Akhirnya Pangeran Diponegoro menerima tawaran Jenderal De Kock untuk berunding. Perundingan berlangsung di Magelang. Namun karena di dalam perundingan tidak menemui kesepakatan, Pangeran Diponegoro ditangkap. (Tuntutan Pangeran Diponegoro adalah agar mendirikan negara merdeka yang bersendikan syariat dan Islam, tuntutan Pangeran Diponegoro ini dinilai berlebihan). Deangan demikian berakhirlah Perang Diponegoro atau Perang Jawa. Hari itu juga Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April 1830. 30 April 1830 Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Dipasana dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertaleksana, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruna akan dibuang ke Manado. 1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.
8 Januari 1855 Diponegoro wafat di Benteng Rotterdam, Makassar dan dimakamkan di Makassar.
Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Setelah perang berakhir, jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.
Setelah perang Dipenogoro, pada tahun 1932 seluruh raja dan bupati di Jawa tunduk menyerah kepada Belanda kecuali bupati Ponorogo Warok Brotodiningrat III, justru hendak menyerang seluruh kantor belanda yang berada di kota-kota karesidenan Madiun dan di Jawa tengah seperti Wonogori, Karanganyar.
Secara Umum Perang ini berlangsung selama 5 tahun, pasukan Pangeran Diponegoro dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, sementara pihak Belanda dipimpin oleh Jenderal  Hendrik Merkus de Kock.
Karena bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak, konon keturunan Diponegoro tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton hingga Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.
Karena kegemilangannya & kegencaran dalam perang serta perolehan beberapa kemenangan, Pangeran Diponegoro diberi gelar Sultan Abdulhamid Cokro Amirul Mukminin Sayidin Panotogomo Khalifatulloh Tanah Jowo.

Sumber               :
4.         http://www.sekelumitpandang.com/perang-diponegoro/

gambar : https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Diponegoro