Kerajaan Pajang adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah sebagai kelanjutan
Kerajaan Demak. Kompleks keraton, yang sekarang tinggal batas-batas fondasinya
saja, berada di perbatasan Kelurahan Pajang, Kota Solo dan Desa Makam haji,Karatsura,Sukoharjo.
Nama negeri
Pajang telah dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit. Menurut Nagarakretagama yang
ditulis tahun 1365, bahwasanya pada zaman tersebut adik perempuan Hayam
Wuruk (raja Majapahit saat itu) bernama asli Dyah
Nertaja menjabat sebagai penguasa Pajang, bergelar Bhatara i Pajang, atau disingkat Bhre Pajang. Dyah Nertaja
merupakan ibu dari Wikramawardhana (raja Majapahit
selanjutnya).
Antara abad
ke-11 sampai abad ke 14 tidak ada kerajaan di Jawa Tengah Selatan, tetapi
Majapahit masih berkuasa sampai kesana. Sementara itu, di Demak mulai muncul
Kerajaan kecil yang didirikan oleh tokoh-tokoh beragama Islam. Namun, sampai
awal abad ke-16 kewibawaan raja Majapahit masih diakui.
Perkembangan Islam di Jawa
salah satunya dipelopori oleh kerajaan Islam pertama yang ada di Jawa, yaitu Kesultanan
Demak. Setelah Demak runtuh, maka bergantilah kerajaan Demak tersebut dengan
kerajaan Pajang. Kerajaan Pajang ini didirikan oleh Jaka Tingkir yang berhasil
menyingkirkan saingannya untuk kemudian memindahkan pusat kerajaan Demak ke
daerah Pajang.
Secara
geografis, kerajaan Pajang terletak di daerah pedalaman. Kerajaan ini tidak
berkuasa lama, hal tersebut disebabkan beberapa faktor, baik faktor intern
maupun ekstern. Namun meskipun demikian, kerajaan ini nantinya juga akan
menghasilkan kemajuan-kemajuan yang signifikan terhadap perkembangan Islam
di sekitar wilayah kekuasaanya.
Jika ditinjau
dari periode eksistensinya, kerajaan ini terhimpit oleh dua kerajaan Islam
besar yang letak mereka tidak begitu berjauhan, yaitu periode akhir kerajaan
Demak dan juga awal kerajaan Mataram Islam. Berangkat dari hal tersebut,
penting kiranya untuk kita bahas lebih lanjut hal-hal yang berkaitan dengan
kerajaan ini.
Sejarah Kerajaan Pajang (1568-1587)
AWAL BERDIRI KERAJAAN PAJANG
Berdirinya
kerajaan Pajang pada akhir abad ke XVI M, merupakan tanda berakhirnya kerajaan Islam
yang berpusat di pesisir Utara Jawa yang kemudian bergeser masuk ke daerah
pedalaman dengan corak agraris. Ketika berbicara mengenai kerajaan Pajang, maka
erat kaitannya dengan keruntuhan kerajaan Demak. Di akhir kekuasaan kerajaan
Demak, terjadi peperangan antara Arya Penangsang dan Joko Tingkir (menantu
Sultan Trenggono). Peperangan itu terjadi pada tahun 1546 M, ketika sultan
Demak telah meninggal dunia.
Pertempuran
tersebut kemudian dimenangkan oleh Jaka Tingkir. ketika terjadi konflik antara
Aria Penangsang dan Joko Tingkir (Hadiwijaya), sebenarnya sunan Kudus kurang
setuju dengan Hadiwijaya. Namun hal tersebut kandas, ketika Jaka Tingkir
berhasil memindahkan pusat kerajaan Demak ke daerah Pajang. Pengesahan Joko
Tingkir atau biasa disebut dengan Hadiwijaya menjadi sultan pertama kerajaan
ini dilakukan oleh Sunan Giri.
Sebelum resmi
mendirikan kerajaan ini, Jaka Tingkir yang berasal dari daerah Pengging ini,
sudah memegang jabatan sebagai penguasa di daerah Pajang pada masa Sultan
Trenggono. Kerajaan ini juga dinilai sebagai pelanjut dan pewaris dari kerajaan
Demak. Kerajaan Pajang terletak di daerah Kertasura dan merupakan kerajaan Islam
pertama yang terletak di daerah pedalaman pulau Jawa. Kerajaan Pajang ini tidak
berusia lama, karena kemudian bertemu dengan suatu kerajaan Islam besar yang
juga terletak di Jawa Tengah yaitu kerajaan Mataram.
Pada awal
berdirinya, wilayah kekuasaan Pajang hanya meliputi daerah Jawa Tengah. Hal itu
disebabkan karena setelah kematian Sultan Trenggono, banyak wilayah jawa Timur
yang melepaskan diri. Namun pada tanggal 1568 M, Sultan Hadiwijaya dan para
Adipati Jawa Timur dipertemukan di Giri Kedaton oleh Sunan Prapen. Dalam
Kesempatan itu, para adipati sepakat mengakui kedaulatan Pajang diatas negeri –
negeri Jawa Timur, maka secara sah kerajaan Pajang telah berdiri. Selanjutnya,
kerajaan Pajang mulai melakukan ekspansi ke beberapa wilayah, meliputi juga
wilayah Jawa Timur.
Berpindahnya
kerajaan Islam dari Demak ke Pajang merupakan kemenangan Islam Kejawen atas Islam
ortodoksi. Setelah berkuasa beberapa waktu, kerajaan ini akhirnya mencapai masa
kejayaan pada masa raja pertama mereka, yaitu sultan Hadiwijaya. Namun pada
perkembangannya, kerajaan ini kemudian mengalami masa disintegrasi setelah
sultan Hadiwijaya meninggal pada tahun 1582 M.
RAJA-RAJA YANG MEMERINTAH DI KERAJAAN PAJANG
Jaka Tingkir
Nama aslinya
adalah Mas Karèbèt, putra Ki Ageng Pengging atau Ki Kebo Kenanga. Ketika ia
dilahirkan, ayahnya sedang menggelar pertunjukan wayang beber dengan dalang Ki
Ageng Tingkir.[1] Kedua ki ageng ini adalah murid Syekh Siti Jenar. Sepulang
dari mendalang, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia.
Sepuluh tahun
kemudian, Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh memberontak terhadap
Kesultanan Demak. Sebagai pelaksana hukuman ialah Sunan Kudus. Setelah kematian
suaminya, Nyai Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal pula. Sejak itu, Mas
Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng
Tingkir). Mas Karebet tumbuh menjadi pemuda yang gemar bertapa, dan dijuluki
Jaka Tingkir. Guru pertamanya adalah Sunan Kalijaga. Ia juga berguru pada Ki
Ageng Sela, dan dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng yaitu, Ki Juru
Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi.
Silsilah Jaka Tingkir :
Andayaningrat
(tidak diketahui nasabnya) + Ratu Pembayun (Putri Raja Brawijaya)→ Kebo kenanga
(Putra Andayaningrat)+ Nyai Ageng Pengging→ Mas Karebet/Jaka Tingkir.
Meski dalam
Babad Jawa, Adiwijaya lebih dilukiskan sebagai Raja yang serba lemah, tetapi
kenyataannya sebagai ahli waris Kerajaan Demak ia mampu menguasai pedalaman
Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan baik. Perpindahan pusat Kerajaan ke pedalaman
yang dilanjutkan lagi oleh Raja Mataram berpengaruh besar atas perkembangan
peradaban Jawa pada abad ke-18 dan 19.
Daerah
kekuasaan Pajang mencakup di sebelah Barat Bagelen (lembah Bogowonto) dan Kedu
(lembah Progo atas).
Di zaman
Adiwijaya memerintah Pajang, yaitu pada tahun 1578 seorang tokoh pemimpin
Wirasaba, yang bernama Wargautama ditindak oleh pasukan-pasukan kerajaan dari
pusat. Berita dari Babad Banyumas ini menunjukkan masih kuatnya Pajang
menjelang akhir pemerintahan Adiwijaya. Kekuasaan Pajang ke Timur meliputi
wilayah Madiun dan disebutkan bahwa Blora pada tahun 1554 menjadi rebutan
antara Pajang dan Mataram.
Ada dugaan
bahwa Adiwijaya sebagai raja Islam berhasil dalam diplomasinya sehingga pada
tahun 1581, ia diakui oleh raja-raja kecil yang penting dikawasan Pesisir Jawa
Timur. Untuk peresmiannya pernah diselenggarakan pertemuan bersama di istana
Sunan Prapen di Giri, hadir pada kesempatan itu para Bupati dari Jipang,
Wirasaba (Majaagung), Kediri, Pasuruan, Madiun, Sedayu, Lasem,Tuban, dan Pati.
Pembicara yang mewakili tokokh-tokoh Jawa Timur adalah Panji Wirya Krama, Bupati
Surabaya. Disebutkan pula bahwa Arosbaya (Madura Barat) mengakui Adiwijaya
sehubunga dengan itu bupatinya bernama Panembahan Lemah Duwur diangkat menantu
Raja Pajang.
Arya Pangiri
Arya Pangiri
adalah putra Sunan Prawoto raja keempat Demak, yang tewas dibunuh Arya
Penangsang tahun 1549. Ia kemudian diasuh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat di
Jepara.
Arya Penangsang
kemudian tewas oleh sayembara yang diadakan Hadiwijaya bupati Pajang. Sejak
itu, Pajang menjadi kerajaan berdaulat di mana Demak sebagai bawahannya.
Setelah dewasa, Arya Pangiri dinikahkan dengan Ratu Pembayun, putri tertua
Sultan Hadiwijaya dan dijadikan sebagai bupati Demak.
Sepeninggal
Sultan Hadiwijaya akhir tahun 1582 terjadi permasalahan takhta di Pajang. Putra
mahkota yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan Arya Pangiri dengan dukungan
Sunan Kudus. Alasan Sunan Kudus adalah usia Pangeran Benawa lebih muda daripada
istri Pangiri, sehingga tidak pantas menjadi raja.
Pangeran Benawa
yang berhati lembut merelakan takhta Pajang dikuasai Arya Pangiri sedangkan ia
sendiri kemudian menjadi bupati Jipang Panolan (bekas negeri Arya Penangsang).
Tokoh Sunan
Kudus yang diberitakan Babad Tanah Jawi perlu dikoreksi, karena Sunan Kudus
sendiri sudah meninggal tahun 1550. Mungkin tokoh yang mendukung Arya Pangiri
tersebut adalah penggantinya, yaitu Panembahan Kudus, atau mungkin Pangeran
Kudus Arya Pangiri menjadi raja Pajang sejak awal tahun 1583 bergelar Sultan
Ngawantipura. Ia dikisahkan hanya peduli pada usaha untuk menaklukkan Mataram
daripada menciptakan kesejahteraan rakyatnya. Dia melanggar wasiat mertuanya
(Hadiwijaya) supaya tidak membenci Sutawijaya. Ia bahkan membentuk pasukan yang
terdiri atas orang-orang bayaran dari Bali, Bugis, dan Makassar untuk menyerbu
Mataram.
Arya Pangiri
juga berlaku tidak adil terhadap penduduk asli Pajang. Ia mendatangkan
orang-orang Demak untuk menggeser kedudukan para pejabat Pajang. Bahkan, rakyat
Pajang juga tersisih oleh kedatangan penduduk Demak. Karena inilah banyak
rakyat Pajang yang tak senang dengan Arya Pangiri. Sehingga banyak warga Pajang
yang berubah menjadi perampok karena kehilangan mata pencaharian. Sebagian lagi
pindah ke Jipang mengabdi pada Pangeran Benawa.
Pangeran
Benawa
Pangeran Benawa
adalah raja ketiga Kesultanan Pajang yang memerintah tahun 1586-1587, bergelar
Sultan Prabuwijaya. Pergantian kekuasaan inipun diwarnai perebutan dalam
peperangan yang membuat keadaan tidak stabil.
Pangeran Benawa
adalah putra Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir, raja pertama Pajang. Sejak
kecil ia dipersaudarakan dengan Sutawijaya, anak angkat ayahnya, yang
mendirikan Kesultanan Mataram.
Pangeran Benawa
memiliki putri bernama Dyah Banowati yang menikah dengan Mas Jolang putra
Sutawijaya. Dyah Banowati bergelar Ratu Mas Adi, yang kemudian melahirkan Sultan
Agung, raja terbesar Mataram.
Selain itu,
Pangeran Benawa juga memiliki putra bernama Pangeran Radin, yang kelak
menurunkan Yosodipuro dan Ronggowarsito, pujangga-pujangga besar Kasunanan
Surakarta. Pangeran Benawa dikisahkan sebagai seorang yang lembut hati. Ia
pernah ditugasi ayahnya untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya terhadap Pajang.
Waktu itu Benawa berangkat bersama Arya Pamalad (kakak iparnya yang menjadi
adipati Tuban) dan Patih Mancanegara.
Sutawijaya
menjamu ketiga tamunya dengan pesta. Putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden
Rangga tidak sengaja membunuh seorang prajurit Tuban, membuat Arya Pamalad
mengajak rombongan pulang.
Sesampai di
Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, bahwa Mataram berniat
memberontak terhadap Pajang. Sementara itu Benawa melaporkan kebaikan
Sutawijaya, bahwa terbunuhnya prajurit Tuban karena ulahnya sendiri.
Sutawijaya
akhirnya terbukti memerangi Pajang tahun 1582, dan berakhir dengan kematian
Sultan Hadiwijaya. Pangeran Benawa yang seharusnya naik takhta disingkirkan
oleh kakak iparnya, yaitu Arya Pangiri adipati Demak.
Benawa kemudian
menjadi adipati Jipang Panolan. Pangeran Benawa merasa tidak puas dengan
jabatan yang didapatnya sebagai penguasa Jipang. Sehingga ia meminta bantuan
kepada senopati Mataram, Sutawijaya, untuk menyingkirkan Arya Pangiri. Pada
tahun 1586 ia bersekutu dengan Sutawijaya untuk menurunkan Arya Pangiri dari
takhta, karena kakak iparnya itu dianggap kurang adil dalam memerintah.
Dikisahkan,
Arya Pangiri hanya sibuk menyusun usaha balas dendam terhadap Mataram.
Orang-orang Demak juga berdatangan, sehingga warga asli Pajang banyak yang
tersisih. Akibatnya, penduduk Pajang sebagian menjadi penjahat karena
kehilangan mata pencaharian, dan sebagian lagi mengungsi ke Jipang.
Persekutuan
Benawa dan Sutawijaya terjalin. Gabungan pasukan Mataram dan Jipang berhasil
mengalahkan Pajang. Perang terjadi di kota Pajang. Pasukan Arya Pangiri
yang terdiri atas 300 orang Pajang, 2000 orang Demak, dan 400 orang
seberang dapat dikalahkan pasukan koalisi Benawa dan Sutawijaya. Arya Pangiri
sendiri tertangkap, tetapi diampuni nyawanya setelah Ratu Pembayun,
istrinya meminta ampunan.
Arya Pangiri dipulangkan ke Demak. Benawa
menawarkan takhta Pajang kepada Sutawijaya. Namun Sutawijaya menolaknya. Ia
hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram. Sejak itu,
Pangeran Benawa naik takhta menjadi raja baru di Pajang bergelar Sultan
Prabuwijaya.
Sepeninggal
sultan Benawa, terdapat beberapa orang sultan yang sempat memerintah. Tetapi
pada tahun 1617-1618 M, terjadi pemberontakan besar di Pajang yang dipimpin
oleh Sultan Agung. Pada tahun 1618 M, kerajaan Pajang mengalami kekalahan
melawan Mataram. Dengan demikian, runtuhlah kerajaan Pajang ini.
BERBAGAI ASPEK PADA KERAJAAN PAJANG
Aspek Sosial Budaya
Pada zaman
Pakubuwono I dan Jayanegara bekerja sama untuk menjadikan Pajang semakin maju
dibidang pertanian sehingga Pajang menjadi lumbung beras pada abad ke-16
sampai abad 17, kerja sama tersebut saling menguntungkan bagi kedua belah
pihak. Kehidupan rakyat Pajang mendapat pengaruh Islamisasi yang cukup kental
sehingga masyarakat Pajang sangat mengamalkan syariat Islam dengan
sungguh-sungguh.
Aspek Ekonomi
Pada zaman Paku
Buwono 1 (1708) ketika Ibukota Mataram masih ada di Kartasura, ada kerjasama
yang baik antara Surakarta pusat dengan Jayengrana bupati Surabaya. Pada masa
itu seluruh Jawa Timur kompak dalam mendukung kerjasama antara PakuBuwono 1 dan
Jayengrana.
Pajang mengalami
kemajuan di bidang pertanian sehingga menjadi lumbung beras dalam abad ke-16
dan 17. Lokasi pusat kerajaaan Pajang ada di dataran rendan tempat bertemunya
sungai Pepe dan Dengkeng (ke dua-duanya bermata air di lereng gunung Merapi)
dengan bengawan sala. Irigasi berjalan lancar karena air tanah di sepanjan
tahun cukup untuk mengairi sehingga pertanian di Pajang maju.
Di zaman
Kerajaan Demak baru muncul, Pajang telah mengekspor beras dengan mengangkutnya
melalui perniagaan yang berupa Bengawan Sala. Sejak itu Demak sebagai negara
maritim menginginkan dikuasainya lumbung-lumbung beras di pedalaman yaitu
Pajang dan kemudian juga mataram, supaya dengan cara demikian dapat berbentuk
negara ideal agraris maritim.
Aspek Politik
Aspek Politik
Arya Penangsang
membuat saluran air melingkari Jipang Panolan dan dihubungkan dengan Bengawan
Solo. Karena pada sore hari air Bengawan Solo pasang maka air di saluran
juga mengalami pasang. Oleh karena itu saluran tersebut dikenal dengan nama
Bengawan Sore. Sebetulnya Arya Penangsang sudah tidak berhak mengklaim tahta
Demak kepada Sultan Hadiwijaya, karena Pajang adalah sebuah kerajaan
tersendiri. Akan tetapi dendamnya kepada putera dan mantu Sultan Trenggono
belum pupus. Dia kembali mengirim pembunuh gelap untuk membunuh Sultan Hadiwijaya,
mengulangi keberhasilan pembunuhan terhadap Sunan Prawata. Akan tetapi pembunuhan
tersebut tidak berhasil.
Dikisahkan
Sunan Kalijaga memohon kepada Sunan Kudus agar para sepuh, Wali sebagai ulama
dapat menempatkan diri sebagai orang tua. Tidak ikut campur dalam urusan “rumah
tangga” anak-anak. Biarkanlah Arya Penangsang dan Hadiwijaya menyelesaikan
persoalanya sendiri. Dan yang sepuh sebagai pengamat. Sunattulah akan berlaku
bagi mereka berdua, ‘Sing becik ketitik sing ala ketara’. Wali lebih baik
mensyi’arkan agama tanpa menggunakan kekuasaan. Biarkanlah urusan tata negara
dilakukan oleh ahlinya masing-masing. Wali adalah ahli da’wah bukan ahli tata
negara. Jangan sampai para Wali terpecah belah karena berpihak kepada
salah satu diantara mereka. Apa kata rakyat jelata, jika melihat para Wali
‘udreg-udregan’, sibuk berkelahi sendiri.
Hampir semua
Guru menyampaikan: “Setelah tidak ada aku nanti, mungkin pentolan-pentolan
kelompokku sudah tidak punya ‘clash of vision’, tetapi mereka tetap punya ‘clash
of minds’, ‘clash of egoes’, mereka merasa bahwa tindakan yang dipilihnya benar
menurut pemahamannya, dan kalian akan melihat banyaknya aliran muncul”.
seandainya Guru masih hidup maka kebenaran dapat ditanyakan dan tidak akan ada
permasalahan. Mereka yang gila kekuasaan menggunakan pemahaman terhadap wasiat
Guru sebagai alat untuk membangun kekuasaan. Yang terjadi bukan perang
berdasarkan perbedaan keyakinan, tetapi perebutan kekuasaan menggunakan
perbedaan pemahaman atau keyakinan sebagai alat yang ampuh.
Dikisahkan
Sunan Kudus sebagai Guru Sultan Hadiwijaya, mengundang Sultan untuk datang ke
Kudus untuk mendinginkan suasana. Pada saat itu terjadi perang mulut antara
Arya Penangsang dan Sultan Hadiwijaya dan mereka saling menghunus keris. Konon
Sunan Kudus berteriak: “Apa-apaan kalian! Penangsang cepat sarungkan senjatamu,
dan masalahmu akan selesai!” Arya Penangsang patuh dan menyarungkan keris
‘Setan Kober’nya. Setelah pertemuan usai, konon Sunan Kudus menyayangkan Arya
Penangsang, maksud Sunan Kudus adalah menyarungkan keris ke tubuh Sultan Hadiwijaya
dan masalah akan selesai.
Akhirnya Arya
Penangsang dengan kuda ‘Gagak Rimang’nya dipancing dengan kuda betina
Sutawijaya yang berada di luar Bengawan Sore atas saran penasehat Ki Gede
Pemanahan dan ki Penjawi. Dan, Arya Penangsang menaiki ‘Gagak Rimang’
yang bersemangat menyeberangi Bengawan Sore. Begitu berada di luar Bengawan
Sore kesaktian Arya Penangsang berkurang yang akhirnya dia dapat
terbunuh. Atas jasanya Ki Penjawi diberi tanah di Pati dan Ki Gede Pemanahan
diberi tanah di Mentaok, Mataram. Sutawijaya adalah putra Ki Gede Pemanahan dan
merupakan putra angkat Sultan Hadiwijaya sebelum putra kandungnya,
Pangeran Benawa lahir. Sutawijaya konon dikawinkan dengan putri Sultan sehingga
Sutawijaya yang akhirnya menjadi Sultan Pertama Mataram yang bergelar
Panembahan Senopati, anak keturunannya masih berdarah Raja Majapahit.
KEMUNDURAN KERAJAAN PAJANG
Sepulang dari
perang, Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dan meninggal dunia. Terjadi persaingan
antara putra dan menantunya, yaitu Pangeran Benawa dan Arya Pangiri sebagai
raja selanjutnya. Arya Pangiri didukung Panembahan Kudus berhasil naik takhta
tahun 1583.
Pemerintahan
Arya Pangiri hanya disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap Mataram. Kehidupan
rakyat Pajang terabaikan. Hal itu membuat Pangeran Benawa yang sudah tersingkir
ke Jipang, merasa prihatin. Pada tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan
Sutawijaya menyerbu Pajang. Meskipun pada tahun 1582 Sutawijaya memerangi
Sultan Hadiwijaya, namun Pangeran Benawa tetap menganggapnya sebagai saudara
tua.
Perang antara
Pajang melawan Mataram dan Jipang berakhir dengan kekalahan Arya Pangiri. Ia
dikembalikan ke negeri asalnya yaitu Demak. Pangeran Benawa kemudian menjadi
raja Pajang yang ketiga. Pemerintahan Pangeran Benawa berakhir tahun 1587.
Tidak ada putra mahkota yang menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan
sebagai negeri bawahan Mataram. Yang menjadi bupati di sana ialah Pangeran
Gagak Baning, adik Sutawijaya. Sutawijaya sendiri mendirikan Kesultanan Mataram
di mana ia sebagai raja pertama bergelar Panembahan Senopati.
Kalingga atau
Ho-ling (sebutan dari sumber Tiongkok) adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu
yang muncul di Jawa Tengah sekitar abad ke-6 masehi. Letak pusat kerajaan ini belumlah
jelas, kemungkinan berada di suatu tempat antara Kabupaten Pekalongan dan
Kabupaten Jepara sekarang. Sumber sejarah kerajaan ini masih belum jelas dan
kabur, kebanyakan diperoleh dari sumber catatan China, tradisi kisah setempat,
dan naskah Carita Parahyangan yang disusun berabad-abad kemudian pada abad
ke-16 menyinggung secara singkat mengenai Ratu Shima dan kaitannya dengan
Kerajaan Galuh. Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi dan keberadaannya
diketahui dari sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu
Shima, yang dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipotong
tangannya.
Peninggalan;
1. Masjid
Laweyan
Akulturasi
budaya budaya Islam dan Hindu merupakan fakta sejarah di Pulau Jawa. Di Solo,
Jawa Tengah, bukti multikulturalisme itu bisa dilihat pada Masjid Ki Ageng
Henis atau lebih dikenal sebagai Masjid Laweyan.
Masjid Laweyan
yang terletak di Kampung Batik Laweyan Solo tersebut menjadi bukti sejarah
akulturasi Budaya Islam-Hindu, karena bangunan masjid itu sebelumnya merupakan
bangunan pura. Namun, saat ini bekas bangunan pura sulit ditemukan, karena
Masjid Laweyan sudah mengalami pemugaran berulang kali.
Menurut salah
seorang pengurus Masjid Laweyan, Adiyanto, masjid ini yang tertua di Solo. Sebab,
pendiri masjid tersebut merupakan sosok cikal bakal penerus takhta di tiga
kerajaan di Jawa Tengah dan Yogyakarta. “Sebelum dibangun masjid, dulunya
merupakan bangunan pura sebagai tempat ibadah umat Hindu,” kata dia kepada
VIVAnews.com, Senin.
Awal mula
berdirinya masjid itu tidak lepas dari pengaruh Ki Ageng Henis yang
bersahabat baik dengan seorang Pemangku atau Pandhita Umat Hindu. Dari
persahabatan itu, lambat laun Pemangku tersebut mulai tertarik mempelajari
agama Islam
yang ajarannya berasal dari Al Quran dan hadits.
Setelah itu,
Sang Pemangku itu langsung tertarik belajar agama Islam dan mengikrarkan diri
memeluk agama Islam mengikuti jejak Ki Ageng Henis. Bangunan pura yang
sebelumnya menjadi tempat ibadah agama Hindu langsung diserahkan ke Ki Ageng
Henis untuk diubah menjadi bangunan langgar (musala). Dalam perkembangannya,
langgar itu kemudian berubah menjadi masjid.
Masjid Laweyan,
menurut Adiyanto, berdiri sejak tahun 1546, di masa Kerajaan Pajang. Kerajaan
tersebut merupakan cikal bakal kerajaan Mataram yang kemudian pecah menjadi
Keraton Kasunanan Surakarta dan Keraton Mataram Ngayogyakarta.
”Ki Ageng Henis ini sebagai
penasihat spiritual Kerajaan Pajang. Beliau merupakan keturunan Raja
Majapahit dari silsilah Raja Brawijaya-Pangeran Lembu Peteng-Ki Ageng Getas
Pandawa lalu Ki Ageng Selo. Sedangkan keturunan Ki Ageng Henis saat ini menjadi
raja-raja di kraton Kasunanan dan Mataram,” katanya.
Bentuk arsitek
masjid yang mirip seperti Kelenteng Jawa, juga menjadi ciri khas Masjid Laweyan
yang berbeda dengan bentuk arsitek masjid pada umumnya. ”Ada juga kentongan
besar yang usianya ratusan tahun, tapi jarang dibunyikan, karena digantikan
dengan bedug. Sisa bangunan yang usianya tua, adalah dua belas tiang utama
masjid dari kayu jati,” kata dia.
Bentuk
arsitektur lainnya, terdapat tiga lorong jalur masuk di bagian depan masjid.
Tiga lorong itu menandakan tiga jalan menuju kehidupan yang bijak yakni Islam,
Iman dan Ihsan.
Meski Masjid
Laweyan merupakan peninggalan Keraton Kasunanan Surakarta, saat ini
pemeliharaannya justru lebih didominasi masyarakat sekitar yang rata-rata
sebagai pengusaha batik. Ritual tradisi budaya keraton juga jarang digelar di
Masjid Laweyan.
2. Batik
laweyan
Referensi
No comments:
Write comments