Wednesday, November 27, 2019

Sejarah Kerajaan Pajang



Kerajaan Pajang adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah sebagai kelanjutan Kerajaan Demak. Kompleks keraton, yang sekarang tinggal batas-batas fondasinya saja, berada di perbatasan Kelurahan Pajang, Kota Solo dan Desa Makam haji,Karatsura,Sukoharjo.
Nama negeri Pajang telah dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit. Menurut Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365, bahwasanya pada zaman tersebut adik perempuan Hayam Wuruk (raja Majapahit saat itu) bernama asli Dyah Nertaja menjabat sebagai penguasa Pajang, bergelar Bhatara i Pajang, atau disingkat Bhre Pajang. Dyah Nertaja merupakan ibu dari Wikramawardhana (raja Majapahit selanjutnya).
Antara abad ke-11 sampai abad ke 14 tidak ada kerajaan di Jawa Tengah Selatan, tetapi Majapahit masih berkuasa sampai kesana. Sementara itu, di Demak mulai muncul Kerajaan kecil yang didirikan oleh tokoh-tokoh beragama Islam. Namun, sampai awal abad ke-16 kewibawaan raja Majapahit masih diakui.
Perkembangan Islam di Jawa salah satunya dipelopori oleh kerajaan Islam pertama yang ada di Jawa, yaitu Kesultanan Demak. Setelah Demak runtuh, maka bergantilah kerajaan Demak tersebut dengan kerajaan Pajang. Kerajaan Pajang ini didirikan oleh Jaka Tingkir yang berhasil menyingkirkan saingannya untuk kemudian memindahkan pusat kerajaan Demak ke daerah Pajang.
Secara geografis, kerajaan Pajang terletak di daerah pedalaman. Kerajaan ini tidak berkuasa lama, hal tersebut disebabkan beberapa faktor, baik faktor intern maupun ekstern. Namun meskipun demikian, kerajaan ini nantinya juga akan  menghasilkan kemajuan-kemajuan yang signifikan terhadap perkembangan Islam di sekitar wilayah kekuasaanya.
Jika ditinjau dari periode eksistensinya, kerajaan ini terhimpit oleh dua kerajaan Islam besar yang letak mereka tidak begitu berjauhan, yaitu periode akhir kerajaan Demak dan juga awal kerajaan Mataram Islam. Berangkat dari hal tersebut, penting kiranya untuk kita bahas lebih lanjut hal-hal yang berkaitan dengan kerajaan ini.
Sejarah Kerajaan Pajang (1568-1587)
AWAL BERDIRI KERAJAAN PAJANG
Berdirinya kerajaan Pajang pada akhir abad ke XVI M, merupakan tanda berakhirnya kerajaan Islam yang berpusat di pesisir Utara Jawa yang kemudian bergeser masuk ke daerah pedalaman dengan corak agraris. Ketika berbicara mengenai kerajaan Pajang, maka erat kaitannya dengan keruntuhan kerajaan Demak. Di akhir kekuasaan kerajaan Demak, terjadi peperangan antara Arya Penangsang dan Joko Tingkir (menantu Sultan Trenggono). Peperangan itu terjadi pada tahun 1546 M, ketika sultan Demak telah meninggal dunia.
Pertempuran tersebut kemudian dimenangkan oleh Jaka Tingkir. ketika terjadi konflik antara Aria Penangsang dan Joko Tingkir (Hadiwijaya), sebenarnya sunan Kudus kurang setuju dengan Hadiwijaya. Namun hal tersebut kandas, ketika Jaka Tingkir berhasil memindahkan pusat kerajaan Demak ke daerah Pajang. Pengesahan Joko Tingkir atau biasa disebut dengan Hadiwijaya menjadi sultan pertama kerajaan ini dilakukan oleh Sunan Giri.
Sebelum resmi mendirikan kerajaan ini, Jaka Tingkir yang berasal dari daerah Pengging ini, sudah memegang jabatan sebagai penguasa di daerah Pajang pada masa Sultan Trenggono. Kerajaan ini juga dinilai sebagai pelanjut dan pewaris dari kerajaan Demak. Kerajaan Pajang terletak di daerah Kertasura dan merupakan kerajaan Islam pertama yang terletak di daerah pedalaman pulau Jawa. Kerajaan Pajang ini tidak berusia lama, karena kemudian bertemu dengan suatu kerajaan Islam besar yang juga terletak di Jawa Tengah yaitu kerajaan Mataram.
Pada awal berdirinya, wilayah kekuasaan Pajang hanya meliputi daerah Jawa Tengah. Hal itu disebabkan karena setelah kematian Sultan Trenggono, banyak wilayah jawa Timur yang melepaskan diri. Namun pada tanggal 1568 M, Sultan Hadiwijaya dan para Adipati Jawa Timur dipertemukan di Giri Kedaton oleh Sunan Prapen. Dalam Kesempatan itu, para adipati sepakat mengakui kedaulatan Pajang diatas negeri – negeri Jawa Timur, maka secara sah kerajaan Pajang telah berdiri. Selanjutnya, kerajaan Pajang mulai melakukan ekspansi ke beberapa wilayah, meliputi juga wilayah Jawa Timur.
Berpindahnya kerajaan Islam dari Demak ke Pajang merupakan kemenangan Islam Kejawen atas Islam ortodoksi. Setelah berkuasa beberapa waktu, kerajaan ini akhirnya mencapai masa kejayaan pada masa raja pertama mereka, yaitu sultan Hadiwijaya. Namun pada perkembangannya, kerajaan ini kemudian mengalami masa disintegrasi setelah sultan Hadiwijaya meninggal pada tahun 1582 M.
RAJA-RAJA YANG MEMERINTAH DI KERAJAAN PAJANG
Jaka Tingkir
Nama aslinya adalah Mas Karèbèt, putra Ki Ageng Pengging atau Ki Kebo Kenanga. Ketika ia dilahirkan, ayahnya sedang menggelar pertunjukan wayang beber dengan dalang Ki Ageng Tingkir.[1] Kedua ki ageng ini adalah murid Syekh Siti Jenar. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia.
Sepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh memberontak terhadap Kesultanan Demak. Sebagai pelaksana hukuman ialah Sunan Kudus. Setelah kematian suaminya, Nyai Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal pula. Sejak itu, Mas Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir). Mas Karebet tumbuh menjadi pemuda yang gemar bertapa, dan dijuluki Jaka Tingkir. Guru pertamanya adalah Sunan Kalijaga. Ia juga berguru pada Ki Ageng Sela, dan dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng yaitu, Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi.
Silsilah Jaka Tingkir :
Andayaningrat (tidak diketahui nasabnya) + Ratu Pembayun (Putri Raja Brawijaya)→ Kebo kenanga (Putra Andayaningrat)+ Nyai Ageng Pengging→ Mas Karebet/Jaka Tingkir.
Meski dalam Babad Jawa, Adiwijaya lebih dilukiskan sebagai Raja yang serba lemah, tetapi kenyataannya sebagai ahli waris Kerajaan Demak ia mampu menguasai pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan baik. Perpindahan pusat Kerajaan ke pedalaman yang dilanjutkan lagi oleh Raja Mataram berpengaruh besar atas perkembangan peradaban Jawa pada abad ke-18 dan 19.
Daerah kekuasaan Pajang mencakup di sebelah Barat Bagelen (lembah Bogowonto) dan Kedu (lembah Progo atas).
Di zaman Adiwijaya memerintah Pajang, yaitu pada tahun 1578 seorang tokoh pemimpin Wirasaba, yang bernama Wargautama ditindak oleh pasukan-pasukan kerajaan dari pusat. Berita dari Babad Banyumas ini menunjukkan masih kuatnya Pajang menjelang akhir pemerintahan Adiwijaya. Kekuasaan Pajang ke Timur meliputi wilayah Madiun dan disebutkan bahwa Blora pada tahun 1554 menjadi rebutan antara  Pajang dan Mataram.
Ada dugaan bahwa Adiwijaya sebagai raja Islam berhasil dalam diplomasinya sehingga pada tahun 1581, ia diakui oleh raja-raja kecil yang penting dikawasan Pesisir Jawa Timur. Untuk peresmiannya pernah diselenggarakan pertemuan bersama di istana Sunan Prapen di Giri, hadir pada kesempatan itu para Bupati dari Jipang, Wirasaba (Majaagung), Kediri, Pasuruan, Madiun, Sedayu, Lasem,Tuban, dan Pati. Pembicara yang mewakili tokokh-tokoh Jawa Timur adalah Panji Wirya Krama, Bupati Surabaya. Disebutkan pula bahwa Arosbaya (Madura Barat) mengakui Adiwijaya sehubunga dengan itu bupatinya bernama Panembahan Lemah Duwur diangkat menantu Raja Pajang.
Arya Pangiri
Arya Pangiri adalah putra Sunan Prawoto raja keempat Demak, yang tewas dibunuh Arya Penangsang tahun 1549. Ia kemudian diasuh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat di Jepara.
Arya Penangsang kemudian tewas oleh sayembara yang diadakan Hadiwijaya bupati Pajang. Sejak itu, Pajang menjadi kerajaan berdaulat di mana Demak sebagai bawahannya. Setelah dewasa, Arya Pangiri dinikahkan dengan Ratu Pembayun, putri tertua Sultan Hadiwijaya dan dijadikan sebagai bupati Demak.
Sepeninggal Sultan Hadiwijaya akhir tahun 1582 terjadi permasalahan takhta di Pajang. Putra mahkota yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan Arya Pangiri dengan dukungan Sunan Kudus. Alasan Sunan Kudus adalah usia Pangeran Benawa lebih muda daripada istri Pangiri, sehingga tidak pantas menjadi raja.
Pangeran Benawa yang berhati lembut merelakan takhta Pajang dikuasai Arya Pangiri sedangkan ia sendiri kemudian menjadi bupati Jipang Panolan (bekas negeri Arya Penangsang).
Tokoh Sunan Kudus yang diberitakan Babad Tanah Jawi perlu dikoreksi, karena Sunan Kudus sendiri sudah meninggal tahun 1550. Mungkin tokoh yang mendukung Arya Pangiri tersebut adalah penggantinya, yaitu Panembahan Kudus, atau mungkin Pangeran Kudus Arya Pangiri menjadi raja Pajang sejak awal tahun 1583 bergelar Sultan Ngawantipura. Ia dikisahkan hanya peduli pada usaha untuk menaklukkan Mataram daripada menciptakan kesejahteraan rakyatnya. Dia melanggar wasiat mertuanya (Hadiwijaya) supaya tidak membenci Sutawijaya. Ia bahkan membentuk pasukan yang terdiri atas orang-orang bayaran dari Bali, Bugis, dan Makassar untuk menyerbu Mataram.
Arya Pangiri juga berlaku tidak adil terhadap penduduk asli Pajang. Ia mendatangkan orang-orang Demak untuk menggeser kedudukan para pejabat Pajang. Bahkan, rakyat Pajang juga tersisih oleh kedatangan penduduk Demak. Karena inilah banyak rakyat Pajang yang tak senang dengan Arya Pangiri. Sehingga banyak warga Pajang yang berubah menjadi perampok karena kehilangan mata pencaharian. Sebagian lagi pindah ke Jipang mengabdi pada Pangeran Benawa.
Pangeran Benawa
Pangeran Benawa adalah raja ketiga Kesultanan Pajang yang memerintah tahun 1586-1587, bergelar Sultan Prabuwijaya. Pergantian kekuasaan inipun diwarnai perebutan dalam peperangan yang membuat keadaan tidak stabil.
Pangeran Benawa adalah putra Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir, raja pertama Pajang. Sejak kecil ia dipersaudarakan dengan Sutawijaya, anak angkat ayahnya, yang mendirikan Kesultanan Mataram.
Pangeran Benawa memiliki putri bernama Dyah Banowati yang menikah dengan Mas Jolang putra Sutawijaya. Dyah Banowati bergelar Ratu Mas Adi, yang kemudian melahirkan Sultan Agung, raja terbesar Mataram.
Selain itu, Pangeran Benawa juga memiliki putra bernama Pangeran Radin, yang kelak menurunkan Yosodipuro dan Ronggowarsito, pujangga-pujangga besar Kasunanan Surakarta. Pangeran Benawa dikisahkan sebagai seorang yang lembut hati. Ia pernah ditugasi ayahnya untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya terhadap Pajang. Waktu itu Benawa berangkat bersama Arya Pamalad (kakak iparnya yang menjadi adipati Tuban) dan Patih Mancanegara.
Sutawijaya menjamu ketiga tamunya dengan pesta. Putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden Rangga tidak sengaja membunuh seorang prajurit Tuban, membuat Arya Pamalad mengajak rombongan pulang.
Sesampai di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, bahwa Mataram berniat memberontak terhadap Pajang. Sementara itu Benawa melaporkan kebaikan Sutawijaya, bahwa terbunuhnya prajurit Tuban karena ulahnya sendiri.
Sutawijaya akhirnya terbukti memerangi Pajang tahun 1582, dan berakhir dengan kematian Sultan Hadiwijaya. Pangeran Benawa yang seharusnya naik takhta disingkirkan oleh kakak iparnya, yaitu Arya Pangiri adipati Demak.
Benawa kemudian menjadi adipati Jipang Panolan. Pangeran Benawa merasa tidak puas dengan jabatan yang didapatnya sebagai penguasa Jipang. Sehingga ia meminta bantuan kepada senopati Mataram, Sutawijaya, untuk menyingkirkan Arya Pangiri. Pada tahun 1586 ia bersekutu dengan Sutawijaya untuk menurunkan Arya Pangiri dari takhta, karena kakak iparnya itu dianggap kurang adil dalam memerintah.
Dikisahkan, Arya Pangiri hanya sibuk menyusun usaha balas dendam terhadap Mataram. Orang-orang Demak juga berdatangan, sehingga warga asli Pajang banyak yang tersisih. Akibatnya, penduduk Pajang sebagian menjadi penjahat karena kehilangan mata pencaharian, dan sebagian lagi mengungsi ke Jipang.
Persekutuan Benawa dan Sutawijaya terjalin. Gabungan pasukan Mataram dan Jipang berhasil mengalahkan Pajang. Perang terjadi di kota Pajang. Pasukan Arya Pangiri yang terdiri atas 300 orang Pajang, 2000 orang Demak, dan 400 orang seberang dapat dikalahkan pasukan koalisi Benawa dan Sutawijaya. Arya Pangiri sendiri tertangkap, tetapi diampuni nyawanya setelah Ratu Pembayun, istrinya meminta ampunan.
 Arya Pangiri dipulangkan ke Demak. Benawa menawarkan takhta Pajang kepada Sutawijaya. Namun Sutawijaya menolaknya. Ia hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram. Sejak itu, Pangeran Benawa naik takhta menjadi raja baru di Pajang bergelar Sultan Prabuwijaya.
Sepeninggal sultan Benawa, terdapat beberapa orang sultan yang sempat memerintah. Tetapi pada tahun 1617-1618 M, terjadi pemberontakan besar di Pajang yang dipimpin oleh Sultan Agung. Pada tahun 1618 M, kerajaan Pajang mengalami kekalahan melawan Mataram. Dengan demikian, runtuhlah kerajaan Pajang ini.
BERBAGAI ASPEK PADA KERAJAAN PAJANG
Aspek Sosial Budaya
Pada zaman Pakubuwono I dan Jayanegara bekerja sama untuk menjadikan Pajang semakin maju dibidang pertanian sehingga Pajang menjadi  lumbung beras pada abad ke-16 sampai abad 17, kerja sama tersebut saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Kehidupan rakyat Pajang mendapat pengaruh Islamisasi yang cukup kental sehingga masyarakat Pajang sangat mengamalkan syariat Islam dengan sungguh-sungguh.
Aspek Ekonomi
Pada zaman Paku Buwono 1 (1708) ketika Ibukota Mataram masih ada di Kartasura, ada kerjasama yang baik antara Surakarta pusat dengan Jayengrana bupati Surabaya. Pada masa itu seluruh Jawa Timur kompak dalam mendukung kerjasama antara PakuBuwono 1 dan Jayengrana.
Pajang mengalami kemajuan di bidang pertanian sehingga menjadi lumbung beras dalam abad ke-16 dan 17. Lokasi pusat kerajaaan Pajang ada di dataran rendan tempat bertemunya sungai Pepe dan Dengkeng (ke dua-duanya bermata air di lereng gunung Merapi) dengan bengawan sala. Irigasi berjalan lancar karena air tanah di sepanjan tahun cukup untuk mengairi sehingga pertanian di Pajang maju.
Di zaman Kerajaan Demak baru muncul, Pajang telah mengekspor beras dengan mengangkutnya melalui perniagaan yang berupa Bengawan Sala. Sejak itu Demak sebagai negara maritim menginginkan dikuasainya lumbung-lumbung beras di pedalaman yaitu Pajang dan kemudian juga mataram, supaya dengan cara demikian dapat berbentuk negara ideal agraris maritim.

Aspek Politik
Arya Penangsang membuat saluran air melingkari Jipang Panolan dan dihubungkan dengan Bengawan Solo.  Karena pada sore hari air Bengawan Solo pasang maka air di saluran juga mengalami pasang. Oleh karena itu saluran tersebut dikenal dengan nama Bengawan Sore. Sebetulnya Arya Penangsang sudah tidak berhak mengklaim tahta Demak kepada Sultan Hadiwijaya, karena Pajang adalah sebuah kerajaan tersendiri. Akan tetapi dendamnya kepada putera dan mantu Sultan Trenggono belum pupus. Dia kembali mengirim pembunuh gelap untuk membunuh Sultan Hadiwijaya, mengulangi keberhasilan pembunuhan terhadap Sunan Prawata. Akan tetapi pembunuhan tersebut tidak berhasil.
Dikisahkan Sunan Kalijaga memohon kepada Sunan Kudus agar para sepuh, Wali sebagai ulama dapat menempatkan diri sebagai orang tua. Tidak ikut campur dalam urusan “rumah tangga” anak-anak. Biarkanlah Arya Penangsang dan Hadiwijaya menyelesaikan persoalanya sendiri. Dan yang sepuh sebagai pengamat. Sunattulah akan berlaku bagi mereka berdua, ‘Sing becik ketitik sing ala ketara’. Wali lebih baik mensyi’arkan agama tanpa menggunakan kekuasaan. Biarkanlah urusan tata negara dilakukan oleh ahlinya masing-masing. Wali adalah ahli da’wah bukan ahli tata negara. Jangan sampai  para Wali terpecah belah karena berpihak kepada salah satu diantara mereka. Apa kata rakyat jelata, jika melihat para Wali ‘udreg-udregan’, sibuk berkelahi  sendiri.
Hampir semua Guru menyampaikan: “Setelah tidak ada aku nanti, mungkin pentolan-pentolan kelompokku sudah tidak punya ‘clash of vision’, tetapi mereka tetap punya ‘clash of minds’, ‘clash of egoes’, mereka merasa bahwa tindakan yang dipilihnya benar menurut pemahamannya, dan kalian akan melihat banyaknya aliran muncul”. seandainya Guru masih hidup maka kebenaran dapat ditanyakan dan tidak akan ada permasalahan. Mereka yang gila kekuasaan menggunakan pemahaman terhadap wasiat Guru sebagai alat untuk membangun kekuasaan. Yang terjadi bukan perang berdasarkan perbedaan keyakinan,  tetapi perebutan kekuasaan menggunakan perbedaan pemahaman atau keyakinan sebagai alat yang ampuh.
Dikisahkan Sunan Kudus sebagai Guru Sultan Hadiwijaya, mengundang Sultan untuk datang ke Kudus untuk mendinginkan suasana. Pada saat itu terjadi perang mulut antara Arya Penangsang dan Sultan Hadiwijaya dan mereka saling menghunus keris. Konon Sunan Kudus berteriak: “Apa-apaan kalian! Penangsang cepat sarungkan senjatamu, dan masalahmu akan selesai!” Arya Penangsang patuh dan menyarungkan keris ‘Setan Kober’nya. Setelah pertemuan usai, konon Sunan Kudus menyayangkan Arya Penangsang, maksud Sunan Kudus adalah menyarungkan keris ke tubuh Sultan Hadiwijaya dan masalah akan selesai.
Akhirnya Arya Penangsang dengan kuda ‘Gagak Rimang’nya dipancing dengan kuda betina Sutawijaya yang berada di luar Bengawan Sore atas saran penasehat Ki Gede Pemanahan dan ki Penjawi. Dan, Arya Penangsang  menaiki ‘Gagak Rimang’ yang bersemangat menyeberangi Bengawan Sore. Begitu berada di luar Bengawan Sore kesaktian Arya Penangsang  berkurang yang akhirnya dia dapat terbunuh. Atas jasanya Ki Penjawi diberi tanah di Pati dan Ki Gede Pemanahan diberi tanah di Mentaok, Mataram. Sutawijaya adalah putra Ki Gede Pemanahan dan merupakan putra angkat Sultan Hadiwijaya sebelum putra kandungnya,  Pangeran Benawa lahir. Sutawijaya konon dikawinkan dengan putri Sultan sehingga Sutawijaya yang akhirnya menjadi  Sultan Pertama Mataram yang bergelar Panembahan Senopati, anak keturunannya masih berdarah Raja Majapahit.
KEMUNDURAN KERAJAAN PAJANG
Sepulang dari perang, Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dan meninggal dunia. Terjadi persaingan antara putra dan menantunya, yaitu Pangeran Benawa dan Arya Pangiri sebagai raja selanjutnya. Arya Pangiri didukung Panembahan Kudus berhasil naik takhta tahun 1583.
Pemerintahan Arya Pangiri hanya disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap Mataram. Kehidupan rakyat Pajang terabaikan. Hal itu membuat Pangeran Benawa yang sudah tersingkir ke Jipang, merasa prihatin. Pada tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan Sutawijaya menyerbu Pajang. Meskipun pada tahun 1582 Sutawijaya memerangi Sultan Hadiwijaya, namun Pangeran Benawa tetap menganggapnya sebagai saudara tua.
Perang antara Pajang melawan Mataram dan Jipang berakhir dengan kekalahan Arya Pangiri. Ia dikembalikan ke negeri asalnya yaitu Demak. Pangeran Benawa kemudian menjadi raja Pajang yang ketiga. Pemerintahan Pangeran Benawa berakhir tahun 1587. Tidak ada putra mahkota yang menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan sebagai negeri bawahan Mataram. Yang menjadi bupati di sana ialah Pangeran Gagak Baning, adik Sutawijaya. Sutawijaya sendiri mendirikan Kesultanan Mataram di mana ia sebagai raja pertama bergelar Panembahan Senopati.
Kalingga atau Ho-ling (sebutan dari sumber Tiongkok) adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu yang muncul di Jawa Tengah sekitar abad ke-6 masehi. Letak pusat kerajaan ini belumlah jelas, kemungkinan berada di suatu tempat antara Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang. Sumber sejarah kerajaan ini masih belum jelas dan kabur, kebanyakan diperoleh dari sumber catatan China, tradisi kisah setempat, dan naskah Carita Parahyangan yang disusun berabad-abad kemudian pada abad ke-16 menyinggung secara singkat mengenai Ratu Shima dan kaitannya dengan Kerajaan Galuh. Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.
Peninggalan;
1.      Masjid Laweyan

Akulturasi budaya budaya Islam dan Hindu merupakan fakta sejarah di Pulau Jawa. Di Solo, Jawa Tengah, bukti multikulturalisme itu bisa dilihat pada Masjid Ki Ageng Henis atau lebih dikenal sebagai Masjid Laweyan.
Masjid Laweyan yang terletak di Kampung Batik Laweyan Solo tersebut menjadi bukti sejarah akulturasi Budaya Islam-Hindu, karena bangunan masjid itu sebelumnya merupakan bangunan pura. Namun, saat ini bekas bangunan pura sulit ditemukan, karena Masjid Laweyan sudah mengalami pemugaran berulang kali.
Menurut salah seorang pengurus Masjid Laweyan, Adiyanto, masjid ini yang tertua di Solo. Sebab, pendiri masjid tersebut merupakan sosok cikal bakal penerus takhta di tiga kerajaan di Jawa Tengah dan Yogyakarta. “Sebelum dibangun masjid, dulunya merupakan bangunan pura sebagai tempat ibadah umat Hindu,” kata dia kepada VIVAnews.com, Senin.
Awal mula berdirinya masjid itu tidak lepas dari pengaruh  Ki Ageng Henis yang bersahabat baik dengan seorang Pemangku atau Pandhita Umat Hindu. Dari persahabatan itu, lambat laun Pemangku tersebut mulai tertarik mempelajari agama Islam yang ajarannya berasal dari Al Quran dan hadits.
Setelah itu, Sang Pemangku itu langsung tertarik belajar agama Islam dan mengikrarkan diri memeluk agama Islam mengikuti jejak Ki Ageng Henis. Bangunan pura yang sebelumnya menjadi tempat ibadah agama Hindu langsung diserahkan ke Ki Ageng Henis untuk diubah menjadi bangunan langgar (musala). Dalam perkembangannya, langgar itu kemudian berubah menjadi masjid.
Masjid Laweyan, menurut Adiyanto, berdiri sejak tahun 1546, di masa Kerajaan Pajang. Kerajaan tersebut merupakan cikal bakal kerajaan Mataram yang kemudian pecah menjadi Keraton Kasunanan Surakarta dan Keraton Mataram Ngayogyakarta.
Ki Ageng Henis ini sebagai penasihat  spiritual Kerajaan Pajang. Beliau merupakan keturunan Raja Majapahit dari silsilah Raja Brawijaya-Pangeran Lembu Peteng-Ki Ageng Getas Pandawa lalu Ki Ageng Selo. Sedangkan keturunan Ki Ageng Henis saat ini menjadi raja-raja di kraton Kasunanan dan Mataram,” katanya.
Bentuk arsitek masjid yang mirip seperti Kelenteng Jawa, juga menjadi ciri khas Masjid Laweyan yang berbeda dengan bentuk arsitek masjid pada umumnya. ”Ada juga kentongan besar yang usianya ratusan tahun, tapi jarang dibunyikan, karena digantikan dengan bedug. Sisa bangunan yang usianya tua, adalah dua belas tiang utama masjid dari kayu jati,” kata dia.
Bentuk arsitektur lainnya, terdapat tiga lorong jalur masuk di bagian depan masjid. Tiga lorong itu menandakan tiga jalan menuju kehidupan yang bijak yakni Islam, Iman dan Ihsan.
Meski Masjid Laweyan merupakan peninggalan Keraton Kasunanan Surakarta, saat ini pemeliharaannya justru lebih didominasi masyarakat sekitar yang rata-rata sebagai pengusaha batik. Ritual tradisi budaya keraton juga jarang digelar di Masjid Laweyan.
2.      Batik laweyan



Referensi

No comments:
Write comments